Tradisi dan Amaliyah Aswaja An-Nahdliyah
2.1
Dzikir dan Do’a berjamaah
Dzikir dan do’a secara
berjama’ah adalah salah satu tradisi yang sudah mengakar kuat di tengah-tengah
masyarakat, terutama warga NU dengan tujuan untuk mengingat Allah, mendekatkan
diri pada-Nya serta memohon berbagai kepentingan, seperti keselamatan hidup di
dunia maupun di akhirat dan perlindungan dari godaan syaitan.
Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar dzikir
dan doa berjamaah yaitu
1)
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridlaan-Nya; dan
janganlah matamu berpaling dari mereka. (QS. Al
Kahfi/18:28)
2)
Sesungguhnya mengeraskan (bacaan) dzikir setelah para sahabat selesai
melakukan shalat wajib sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Ibnu Abbas
berkata: “Saya mengetahui yang demikian setelah mereka melakukan shalat wajib
dan saya mendengarnya.” (HR. al-Bukhari, Muslim,
Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah).
2.1
Tradisi Tawasul
Tawassul artinya perantara. Kalau kita tak sanggup menghadap langsung,
kita perlu seseorang perantara. Dan kita tidak dapat langsung ke Allah, maka
kita mohon perantara para kekasih-Nya, para nabi, syuhada dan orang-orang
saleh.
Tradisi orang NU dalam tawassul kental sekali, terutama di kalangan
bawah karena mereka merasa bahwa ia tidak bisa langsung menuju Allah, sehingga
dibutuhkan seorang perantara yang diminta membantu dalam menyampaikan
permohonan atau do’a pada Allah SWT.
Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi tawassul yaitu
1)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya. (QS.
Al-Maidah/5:35)
2)
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu,
lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4:64)
3)
Dari Anas
bin Malik bahwa Umar bin Khatab ketika menghadapi musim kemarau panjang, mereka
meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata: Ya Allah
dulu kami mohon kepada-Mu dengan wasilah nabi-Mu dan Engkau menurunkan hujan
kepada kami, sekarang kami mohon kepada-Mu dengan tawassul paman Nabi-Mu,
turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka.
( HR.al-Bukhari)
2.1
Tradisi Istighatsah
Istighotsah
berasal dari kata “al-ghouts” yang
berarti pertolongan, atau “tholabul
ghouts” yang memiliki arti meminta pertolongan. Sedangkan secara istilah,
istighotsah adalah meminta pertolongan ketika dalam keadaan sukar atau sulit
dengan penuh kesungguhan hati.
Istighotsah sebenarnya
sama dengan doa, namun istighotsah konotasinya lebih dari sekedar berdoa.
Karena yang dimohon dalam istighotsah bukan hal yang biasa, serta ada
kekhusyuan yang lebih di dalamnya.
Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi istighatsah yaitu
1)
Ingatlah
wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu
diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan
kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (Q.S
Al-Anfal : 9)
2)
Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah. (QS. Al-Ahqaf/47:17)
2.1
Tradisi Talqin Mayat
Menurut bahasa
mempunyai arti mendikte, mengajarkan, memahamkan secara lisan. Sedangkan
menurut istilah, talqin adalah bimbingan kalimat la ilaha illallah atau kalimat syahadat yang diberikan orang muslim
yang akan meninggal atau yang baru dikubur.
Menurut
ulama madzhab Hanafi dan Maliki, hukum talqin mayit adalah sunnah. Artinya
ketika dilaksanakan mendapatkan pahala, dan ketika ditinggalkan tidak berdosa.
Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi talqin mayat yaitu
قال رسول الله صلي الله
ءليه وسلم لقنوا موتاكم لا اله الا الله(رواه البخاري)
Rasullullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu semua
mengajarkan kepada
orang-orang meninggal kalian dengan kalimat la ilaha illallah.”
(HR. Bukhori/916).
Diriwayatkan dari Rasyid
bin Sa’ad dan Dlamrah bin Habib dan Hakim bin Umair mereka berkata: “Apabila
telah diratakan kuburan atas mayit dan orang-orang telah pergi mereka
mensunnahkan untuk dikatakan kepada mayit di atas kuburnya; Ya Fulan, katakan!
Tidak ada Tuhan kecuali Allah tiga kali; Ya Fulan, katakan! Tuhanku Allah,
agamaku Islam, Nabiku Muhammad SAW kemudian pergilah.” (HR. Sa’id)
2.1
Tradisi Ziarah Kubur
Secara etimologi
(bahasa), ziarah kubur berarti menengok kubur. Sedangkan pengertian ziarah
kubur secara terminologi
(istilah) yaitu, berkunjung ke kubur seseorang untuk berniat baik dengan cara
mendoakannya, serta mengambil pelajaran akan kematian bagi diri sendiri.
Ziarah
kubur bukan hanya menengok kubur, namun kedatangan seseorang ke kubur adalah
dengan maksud untuk mendoakan ahli kubur yang muslim dan mengirim pahala
baginya dari bacaan al-Qur’an, dan kalimat-kalimat tayyibah seperti
tahlil, tasbih, dan lain-lain.
Menurut
madzhab syafi’i, hukum berziarah adalah sunah. Hukum sunah ini berlaku bagi
laki-laki maupun perempuan.
Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi ziarah kubur yaitu
1) Dari
Abu Hurairah, Rasulullah
bersabda: “Ketika seseorang manusia telah
meninggal,
maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu
amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh dan sholehah.”
(HR. Muslim)
2) Siapa saja
yang menziarahiku setelah wafatku, seolah-olah ia mengunjungiku semasa hidupku.
(HR. al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir [13314])
3)
Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda: Tak seorang pun yang berziarah ke makam
saudaranya dan duduk di dekatnya, kecuali ia merasa senang dan menjawabnya
hingga meninggalkan tempatnya.
2.1
Hadiah Pahala
Menghadiahkan pahala bacaan, shadaqah, dan
amal saleh merupakan salah satu dari
sekian furu khilafiyah yang
seharusnya tidak mendorong terjadinya fitnah, pertengkaran, perdebatan, dan
sikap antipati kepada orang yang melakukannya dan yang menentangnya. Kedua
belah pihak yang saling berbeda pendapat sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang
tidak pantas dilakukan oleh sesame saudara muslimnya karena masing-masing pihak
memiliki alasan dan argumentasi sendiri yang membenarkan amaliahnya.
Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar hadiah
pahala yaitu
1)
Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad
bin Ubadah RA meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di
sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat
itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan
sesuatu untuknya?” Nabi SAW menjawab,”Iya, bermanfaat.” Kemudian Sa’ad
mengatakan pada beliau SAW, “Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang
siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya”. (HR Bukhari [2756] dari Abdullah
bin Abbas).
2)
Dari Anas RA, Nabi Muhammad
SAW bersabda : Siapa yang masuk ke
pekuburan, lalu membaca QS. Yasin, maka Allah SWT memperingan siksaan mereka,
dan si pembaca memperoleh ganjaran sejumlah ahli kubur yang ada di situ.
2.1
Hisab dan Ru’yat
Hisab
menurut bahasa berarti hitungan, perhitungan, arithmetic (
ilmu
hitung), calculus (hitung), computation (perhitungan), estimation (penilaian,
perhitungan), appraisal (penaksiran). Sementara menurut
istilah, hisab adalah perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui
kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan.
Apabila hisab ini dalam
penggunaannya dikhususkan pada hisab waktu atau hisab awal bulan maka yang
dimaksudkan adalah menentukan kedudukan matahari atau bulan sehingga diketahui
kedudukan matahari dan bulan tersebut pada bola langit pada saat-saat tertentu.
Hisab bermakna melihat dengan ilmu atau melakukan perhitungan peredaran bumi
terhadap matahari dan bulan pada bumi.
Dalam
persoalan menentukan awal dan akhir Ramadlan, ulama Aswaja an-Nahdliyah
berpegangan pada ru’yatul hilal atau
menyempurnakan bilangan 30 hari bulan Sya’ban, jika hilal tidak berhasil di-rukyat
sebab terhalang mendung, awan, debu, dan sejenisnya.
Dasar
digunakannya hisab sebagai metode dalam penentuan awal bulan Qamariyah antara lain Q.S.
al-Baqarah,2:185 dan 189, Q.S. Yunus, 17:5, Q.S. al-Isra, 10:2, Q.S. An-Nahl,
16:16, Q.S. at-Taubat, 9:36, Q.S. al-Hijr, 15:16, Q.S. al-Anbiya, 21:33, Q.S.
al-An’am, 6:96 dan 97, Q.S. ar-Rahman, 55:5, Q.S. Yasin, 36:39 dan 40.
Karena
itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu,… (QS.
Al-Baqarah/2:185)
Adapun
hadits yang digunakan salah satunya adalah “Dari
Ibnu Umar r.a., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulallah Saw. bersabda: Bila
kamu telah melihat tanggal satu bulan Ramadhan, maka puasalah, dan bila kamu
melihat tanggal satu Syawal, maka berhari rayalah. Tetapi bila terlihat
mendung, maka perkirakanlah (sesuai dengan hari perhitungan)”. (Hadits
disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)
2.1
Shalat Tarawih dan Shalat Ied
Shalat
tarawih adalah shalat sunnah mu’akkad yang dikerjakan usai shalat isya’ pada
bulan Ramadhan. Para ulama mahzab Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah memilih melaksanakan shalat tarawih dalam jumlah 20
rakaat, mengikuti apa yang dilakukan oleh sahabat Umar ibn al-Khattab RA.
Mayoritas
ulama Aswaja melaksanakan shalat ied di masjid, berbeda dari sementara kalangan
yang mengerjakannya di lapangan. Menurut pendapat Imam Malik, shalat ied juga
baik dilaksanakan di lapangan terbuka karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan
shalat ied di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.
Hukum shalat ied adalah sunnah muakkadah ( sangat dianjurkan tetapi tidak wajib). Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar shalat tarawih dan shalat ied yaitu
1)
Mereka melakukan shalat tarawih di bulan Ramadhan pada masa khalifah
Umar ibn al-Khattab RA sebanyak 20 rakaat.” (HR.
Al-Baihaqi dari Saib bin Yazid RA dalam as-Sunanul Kubra [4801])
2)
Orang-orang yang pada masa Khalifah Umar ibn al-Khattab RA melakukan
shalat (tarawih dan witir 23 rakaat (yakni 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat
witir). (HR. Malik dari Yazid ibn Anas)
3)
Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunai zakat, dan tidak takut
kecuali kepada Allah. Maka merekalah orang-orang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang terpetunjuk. (HR.
at-Taubah/9:18)
4)
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata: Nabi SAW memerintahkan kami untuk
keluar pada hari raya (Fithri dan Adlha), gadis-gadis, wanita yang dipingit,
dan beliau memerintahkan wanita yang sedang haidl menjauh dari mushalla kaum
Muslimin. (HR. Muslim)
2.1
Walimah dan Prosesinya
“Walimah” berarti “jamuan” atau “berkumpul” yang dikhususkan untuk
perkawinan saja. Di samping itu, walimah juga memiliki fungsi lainnya untuk
mengumumkan kepada khalayak ramai tentang pernikahan itu sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, walimah dapat dilakukan untuk
memberitahukan kepada khalayak ramai tentang khitan, bepergian, dan saat
mendapatkan kebahagiaan lainnya.
Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar walimah dan prosesinya yaitu
1)
Imam as-Syafi’I berkata “Walimah yang dikenal (dalam Islam) adalah
walimah ‘Urs dan setiap jamuan yang diadakan atas dasar mendapatkan sesuatu,
persalinan, khitanan atau kebahagiaan yang baru diperoleh kemudian jamuan
tersebut dijadikan undangan maka nama walimah layak disematkan padanya.”
2)
Salim bin Abdullah bin Umar berkata : “ Ibnu Umar mengkhitanku dan juga
mengkhitan Nu’aim, maka beliau menyembelih seekor kibas (domba besar) untuk
khitan kami” (HR. al-Bukhari dalam
al-Adab al-Mufrad no. 1246)
2.2
Tradisi Shalawatan
Shalawatan merupakan salah satu amalan yang
disenangi orang-orang NU di samping amalan-amalan sejenis lainnya. Bagi
orang-orang yang NU, setiap kegiatan keagamaan di dalamnya ada bacaan shalawat
Nabi dengan segala ragamnya.
Dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi
shalawatan yaitu
1)
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya membacakan shalawat kepada Nabi
Muhammad SAW (dari sebab itu), Hai orang-orang yang beriman bacalah doa
shalaway dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. (QS.
Al-Ahzab/33:56)
2)
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang
bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah menulis baginya sepuluh
kebaikan.” (HR. Ahmad [7772,7773])
2.1
Tradisi Simaan al-Qur’an
Semaan adalah tradisi membaca dan
mendengarkan pembacaan Al-Qur’an di kalangan masyarakat NU dan pesantren umumnya.
Kata ‘semaan’ berasal dari bahasa Arab sami’a-yasma’u,
yang artinya mendengar. Semaan adalah kegiatan membaca dan mendengarkan Al
Qur’an berjamaah atau bersama-sama, di mana di dalam seaman itu juga selain
mendengarkan Al Qur’an, yang hadir (sami’in)
juga bersama-sama melakukan ibadah sholat wajib secara berjama’ah juga shalat
sunah yang lain, dari ba’da subuh hingga khatamnya Al Qur’an.
Tradisi ini biasa dilakukan dengan cara satu
orang membaca Al Qur’an, sembari disimak oleh orang lain. Tradisi ini
berlangsung sejak lama di masjid, mushola, majelis ilmu, dan di rumah untuk
berbagai keperluan seperti mendatangkan ketentraman hati, suatu hajat dan
sebagainya.
Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar
tradisi simaan al-Qur’an yaitu
1) Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS. Al-Fathir/35:29-30)
2)
Dari Abu Hurairah RA.
Rasulullah bersabda : Barangsiapa
membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan
membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa memberikan
kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan
kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim,maka
Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong
hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. Barangsiapa
menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surge
baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah)
untuk membaca Al-Qur’an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan
dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada
malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang ketinggalan
amalnya, maka nasabnya tak juga meninggikannya.”
(HR. Muslim [4857] )
DAFTAR PUSTAKA
Dr. KH Hamzah,
Muchotob, MM., dkk. 2018. PENGANTAR STUDI
ASWAJA AN-NAHDLIYAH. Wonosobo: UNSIQ PRESS
Fadeli Soelaiman, M. Subhan.
2008. Antologi NU. Surabaya: Khalista
Ngabdurrohman. 2011. Tradisi
dan Amaliyah NU. Jakarta:LTM-PBNU
Tidak ada komentar: