Tradisi dan Amaliyah Aswaja An-Nahdliyah

April 01, 2021


2.1           Dzikir dan Do’a berjamaah

Dzikir dan do’a secara berjama’ah adalah salah satu tradisi yang sudah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat, terutama warga NU dengan tujuan untuk mengingat Allah, mendekatkan diri pada-Nya serta memohon berbagai kepentingan, seperti keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat dan perlindungan dari godaan syaitan.

Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar dzikir dan doa berjamaah yaitu

1)      Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridlaan-Nya; dan janganlah matamu berpaling dari mereka. (QS. Al Kahfi/18:28)

2)      Sesungguhnya mengeraskan (bacaan) dzikir setelah para sahabat selesai melakukan shalat wajib sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Ibnu Abbas berkata: “Saya mengetahui yang demikian setelah mereka melakukan shalat wajib dan saya mendengarnya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah).


2.1           Tradisi Tawasul

Tawassul artinya perantara. Kalau kita tak sanggup menghadap langsung, kita perlu seseorang perantara. Dan kita tidak dapat langsung ke Allah, maka kita mohon perantara para kekasih-Nya, para nabi, syuhada dan orang-orang saleh.

Tradisi orang NU dalam tawassul kental sekali, terutama di kalangan bawah karena mereka merasa bahwa ia tidak bisa langsung menuju Allah, sehingga dibutuhkan seorang perantara yang diminta membantu dalam menyampaikan permohonan atau do’a pada Allah SWT.

Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi tawassul yaitu

1)      Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. (QS. Al-Maidah/5:35)

2)      Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4:64)

3)      Dari Anas bin Malik bahwa Umar bin Khatab ketika menghadapi musim kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata: Ya Allah dulu kami mohon kepada-Mu dengan wasilah nabi-Mu dan Engkau menurunkan hujan kepada kami, sekarang kami mohon kepada-Mu dengan tawassul paman Nabi-Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka. ( HR.al-Bukhari)



2.1           Tradisi Istighatsah

            Istighotsah berasal dari kata “al-ghouts” yang berarti pertolongan, atau “tholabul ghouts” yang memiliki arti meminta pertolongan. Sedangkan secara istilah, istighotsah adalah meminta pertolongan ketika dalam keadaan sukar atau sulit dengan penuh kesungguhan hati.

Istighotsah sebenarnya sama dengan doa, namun istighotsah konotasinya lebih dari sekedar berdoa. Karena yang dimohon dalam istighotsah bukan hal yang biasa, serta ada kekhusyuan yang lebih di dalamnya.

Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi istighatsah yaitu

1)      Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (Q.S Al-Anfal : 9)

2)      Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah. (QS. Al-Ahqaf/47:17)


2.1           Tradisi Talqin Mayat

Menurut bahasa mempunyai arti mendikte, mengajarkan, memahamkan secara lisan. Sedangkan menurut istilah, talqin adalah bimbingan kalimat la ilaha illallah atau kalimat syahadat yang diberikan orang muslim yang akan meninggal atau yang baru dikubur.

Menurut ulama madzhab Hanafi dan Maliki, hukum talqin mayit adalah sunnah. Artinya ketika dilaksanakan mendapatkan pahala, dan ketika ditinggalkan tidak berdosa.

Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi talqin mayat yaitu

قال رسول الله صلي الله ءليه وسلم لقنوا موتاكم لا اله الا الله(رواه البخاري)

Rasullullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu semua mengajarkan kepada orang-orang meninggal kalian dengan kalimat la ilaha illallah.

(HR. Bukhori/916).

Diriwayatkan dari Rasyid bin Sa’ad dan Dlamrah bin Habib dan Hakim bin Umair mereka berkata: “Apabila telah diratakan kuburan atas mayit dan orang-orang telah pergi mereka mensunnahkan untuk dikatakan kepada mayit di atas kuburnya; Ya Fulan, katakan! Tidak ada Tuhan kecuali Allah tiga kali; Ya Fulan, katakan! Tuhanku Allah, agamaku Islam, Nabiku Muhammad SAW kemudian pergilah.” (HR. Sa’id)



2.1           Tradisi Ziarah Kubur

Secara etimologi (bahasa), ziarah kubur berarti menengok kubur. Sedangkan pengertian ziarah kubur secara terminologi (istilah) yaitu, berkunjung ke kubur seseorang untuk berniat baik dengan cara mendoakannya, serta mengambil pelajaran akan kematian bagi diri sendiri.

             Ziarah kubur bukan hanya menengok kubur, namun kedatangan seseorang ke kubur adalah dengan maksud untuk mendoakan ahli kubur yang muslim dan mengirim pahala baginya dari bacaan al-Qur’an, dan kalimat-kalimat tayyibah seperti tahlil, tasbih, dan lain-lain.

            Menurut madzhab syafi’i, hukum berziarah adalah sunah. Hukum sunah ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan.

Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi ziarah kubur yaitu

1)      Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Ketika seseorang manusia telah meninggal, maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh dan sholehah.” (HR. Muslim)

2)      Siapa saja yang menziarahiku setelah wafatku, seolah-olah ia mengunjungiku semasa hidupku. (HR. al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir [13314])

3)      Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tak seorang pun yang berziarah ke makam saudaranya dan duduk di dekatnya, kecuali ia merasa senang dan menjawabnya hingga meninggalkan tempatnya.


2.1           Hadiah Pahala

Menghadiahkan pahala bacaan, shadaqah, dan amal saleh merupakan salah satu  dari sekian furu khilafiyah yang seharusnya tidak mendorong terjadinya fitnah, pertengkaran, perdebatan, dan sikap antipati kepada orang yang melakukannya dan yang menentangnya. Kedua belah pihak yang saling berbeda pendapat sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh sesame saudara muslimnya karena masing-masing pihak memiliki alasan dan argumentasi sendiri yang membenarkan amaliahnya.

Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar hadiah pahala yaitu

1)      Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah RA meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?” Nabi SAW menjawab,”Iya, bermanfaat.” Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau SAW, “Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya”. (HR Bukhari [2756] dari Abdullah bin Abbas).

2)      Dari Anas RA, Nabi Muhammad SAW bersabda : Siapa yang masuk ke pekuburan, lalu membaca QS. Yasin, maka Allah SWT memperingan siksaan mereka, dan si pembaca memperoleh ganjaran sejumlah ahli kubur yang ada di situ.

 

2.1           Hisab dan Ru’yat

            Hisab menurut bahasa berarti hitungan, perhitungan, arithmetic ( ilmu hitung),  calculus (hitung),  computation  (perhitungan), estimation  (penilaian, perhitungan), appraisal (penaksiran). Sementara menurut istilah, hisab adalah perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan.

Apabila hisab ini dalam penggunaannya dikhususkan pada hisab waktu atau hisab awal bulan maka yang dimaksudkan adalah menentukan kedudukan matahari atau bulan sehingga diketahui kedudukan matahari dan bulan tersebut pada bola langit pada saat-saat tertentu. Hisab bermakna melihat dengan ilmu atau melakukan perhitungan peredaran bumi terhadap matahari dan bulan pada bumi.

Dalam persoalan menentukan awal dan akhir Ramadlan, ulama Aswaja an-Nahdliyah berpegangan pada ru’yatul hilal atau menyempurnakan bilangan 30 hari bulan Sya’ban, jika hilal tidak berhasil di-rukyat sebab terhalang mendung, awan, debu, dan sejenisnya.

            Dasar digunakannya hisab sebagai metode dalam penentuan awal bulan Qamariyah antara lain Q.S. al-Baqarah,2:185 dan 189, Q.S. Yunus, 17:5, Q.S. al-Isra, 10:2, Q.S. An-Nahl, 16:16, Q.S. at-Taubat, 9:36, Q.S. al-Hijr, 15:16, Q.S. al-Anbiya, 21:33, Q.S. al-An’am, 6:96 dan 97, Q.S. ar-Rahman, 55:5, Q.S. Yasin, 36:39 dan 40.

            Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,… (QS. Al-Baqarah/2:185)

            Adapun hadits yang digunakan salah satunya adalah “Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulallah Saw. bersabda: Bila kamu telah melihat tanggal satu bulan Ramadhan, maka puasalah, dan bila kamu melihat tanggal satu Syawal, maka berhari rayalah. Tetapi bila terlihat mendung, maka perkirakanlah (sesuai dengan hari perhitungan)”. (Hadits disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)


2.1           Shalat Tarawih dan Shalat Ied

Shalat tarawih adalah shalat sunnah mu’akkad yang dikerjakan usai shalat isya’ pada bulan Ramadhan. Para ulama mahzab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah memilih melaksanakan shalat tarawih dalam jumlah 20 rakaat, mengikuti apa yang dilakukan oleh sahabat Umar ibn al-Khattab RA.

Mayoritas ulama Aswaja melaksanakan shalat ied di masjid, berbeda dari sementara kalangan yang mengerjakannya di lapangan. Menurut pendapat Imam Malik, shalat ied juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat ied di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.

Hukum shalat ied adalah sunnah muakkadah ( sangat dianjurkan tetapi tidak wajib). Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar shalat tarawih dan shalat ied yaitu

1)      Mereka melakukan shalat tarawih di bulan Ramadhan pada masa khalifah Umar ibn al-Khattab RA sebanyak 20 rakaat.” (HR. Al-Baihaqi dari Saib bin Yazid RA dalam as-Sunanul Kubra [4801])

2)      Orang-orang yang pada masa Khalifah Umar ibn al-Khattab RA melakukan shalat (tarawih dan witir 23 rakaat (yakni 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir). (HR. Malik dari Yazid ibn Anas)

3)      Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah  hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunai zakat, dan tidak takut kecuali kepada Allah. Maka merekalah orang-orang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang terpetunjuk. (HR. at-Taubah/9:18)

4)      Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata: Nabi SAW memerintahkan kami untuk keluar pada hari raya (Fithri dan Adlha), gadis-gadis, wanita yang dipingit, dan beliau memerintahkan wanita yang sedang haidl menjauh dari mushalla kaum Muslimin. (HR. Muslim)


2.1           Walimah dan Prosesinya

“Walimah” berarti “jamuan” atau “berkumpul” yang dikhususkan untuk perkawinan saja. Di samping itu, walimah juga memiliki fungsi lainnya untuk mengumumkan kepada khalayak ramai tentang pernikahan itu sendiri.

Pada perkembangan selanjutnya, walimah dapat dilakukan untuk memberitahukan kepada khalayak ramai tentang khitan, bepergian, dan saat mendapatkan kebahagiaan lainnya.

Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar walimah dan prosesinya yaitu

1)      Imam as-Syafi’I berkata “Walimah yang dikenal (dalam Islam) adalah walimah ‘Urs dan setiap jamuan yang diadakan atas dasar mendapatkan sesuatu, persalinan, khitanan atau kebahagiaan yang baru diperoleh kemudian jamuan tersebut dijadikan undangan maka nama walimah layak disematkan padanya.”

2)      Salim bin Abdullah bin Umar berkata : “ Ibnu Umar mengkhitanku dan juga mengkhitan Nu’aim, maka beliau menyembelih seekor kibas (domba besar) untuk khitan kami” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no. 1246)

 

2.2           Tradisi Shalawatan

Shalawatan merupakan salah satu amalan yang disenangi orang-orang NU di samping amalan-amalan sejenis lainnya. Bagi orang-orang yang NU, setiap kegiatan keagamaan di dalamnya ada bacaan shalawat Nabi dengan segala ragamnya.

Dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi shalawatan yaitu

1)      Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya membacakan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW (dari sebab itu), Hai orang-orang yang beriman bacalah doa shalaway dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. (QS. Al-Ahzab/33:56)

2)      Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah menulis baginya sepuluh kebaikan.” (HR. Ahmad [7772,7773])


2.1           Tradisi Simaan al-Qur’an

Semaan adalah tradisi membaca dan mendengarkan pembacaan Al-Qur’an di kalangan masyarakat NU dan pesantren umumnya. Kata ‘semaan’ berasal dari bahasa Arab sami’a-yasma’u, yang artinya mendengar. Semaan adalah kegiatan membaca dan mendengarkan Al Qur’an berjamaah atau bersama-sama, di mana di dalam seaman itu juga selain mendengarkan Al Qur’an, yang hadir (sami’in) juga bersama-sama melakukan ibadah sholat wajib secara berjama’ah juga shalat sunah yang lain, dari ba’da subuh hingga khatamnya Al Qur’an.

Tradisi ini biasa dilakukan dengan cara satu orang membaca Al Qur’an, sembari disimak oleh orang lain. Tradisi ini berlangsung sejak lama di masjid, mushola, majelis ilmu, dan di rumah untuk berbagai keperluan seperti mendatangkan ketentraman hati, suatu hajat dan sebagainya.

Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar tradisi simaan al-Qur’an yaitu

1)      Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS. Al-Fathir/35:29-30)

2)      Dari Abu Hurairah RA. Rasulullah bersabda : Barangsiapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa memberikan kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim,maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surge baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al-Qur’an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tak juga meninggikannya.”

(HR. Muslim [4857] )


DAFTAR PUSTAKA 

Dr. KH Hamzah, Muchotob, MM., dkk. 2018. PENGANTAR STUDI ASWAJA AN-NAHDLIYAH. Wonosobo: UNSIQ PRESS

Fadeli Soelaiman, M. Subhan. 2008. Antologi NU. Surabaya: Khalista

Ngabdurrohman. 2011. Tradisi dan Amaliyah NU. Jakarta:LTM-PBNU






Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.