Aplikasi Transcultural Nursing Sepanjang Daur Kehidupan Manusia

April 01, 2021


2.1 Aplikasi Transcultural Nursing Sepanjang Daur Kehidupan Manusia

2.1.1 Perawatan Kehamilan dan Kelahiran

Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara universal sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang  berbeda oleh aneka kelompok masyarakat (Jordan, 1993).

Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus dijalani didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi misalnya, wanita hamil dilarang makan rebung karena menurut masyarakat setempat jika wanita hamil makan rebung maka bayinya akan berbulu seperti rebung. Makan jantung pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan membuat bayi lahir dengan ukuran yang kecil.

Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang menginjak usia kehamilan tujuh  bulan diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita hamil tersebut selamat dalam  proses melahirkan. Ketika sang bayi lahir pun nenek dari pihak ibu memberikan lagi ulos tondi kepada cucunya sebagai simbol perlindungan. Sang ibu akan menggendong anaknya dengan ulos tersebut agar anaknya selalu sehat dan cepat besar. Ulos tersebut dinamakan ulos parompa.

Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini,  pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan keluarga.

Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat yang sering menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa kehamilan dan kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat adat istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat yang rinci untuk menyambut kelahiran bayi seperti pada upacara mitoni,  procotan, dan brokohan.

Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern  penanganan oleh dokter dibantu oleh perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi  penangana dengan adat dibantu oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya adalah perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan tertentu, dukun bayi adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali Hindu yang disebut  balian manak dengan usia di atas 50 tahun dan profesi ini tidak dapat digantikan oleh  perempuan karena dalam proses menolong persalinan, sang dukun harus membacakan mantra-mantra yang hanya boleh diucapkan oleh laki laki karena sifat sakralnya.

Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam. Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang guru karena merasa terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses semata mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian, sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang sesuai keperluan itu. Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak ramuan untuk dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari  berbagai jenis tumbuhan, atau bahan bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai  penguat tubuh atau pelancar proses persalinan.

Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan dan kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja, melainkan sebagai  proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti; pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam  pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan  bahaya, penggunaan ramuan atau obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran,  pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta perawatan  bayi dan ibunya.

Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu  berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial, agama dan kepercayaan serta pola komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang dan mendatang. Untuk itu penting bagi perawat memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitif terhadap warisan budaya keluarganya.


2.1.2 Perawatan dan Pengasuhan Anak

Di sepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi  peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan bisa mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak. Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik  perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis.

Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada 5 (lima) sistem yang  berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,yaitu:

Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi : keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga.

Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem, misalnya hubungan pengalaman-pengalaman yang didapatkan di dalam keluarga dengan  pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya.

Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap  perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa.

Keempat, sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup, seperti : ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat.

Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik). Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan,  pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung.

Proses sosialisasi pada anak secara umum melalui 4 fase, yaitu:

1) Fase Laten (Laten Pattern), pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”.  

2) Fase Adaptasi (Adaption), pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Orangtua  berperan besar pada fase adaptasi, karena anak hanya dapat belajar dengan  baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya.

3) Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment), pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya, tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan  penghargaan dari lingkungannya.

4) Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan, tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri.

Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah mengenalkan dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam memberikan pengasuhan dan perawatan perlu mengarahkan anak pada perilaku  perkembangan yang normal, membantu dalam memaksimalkan kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk koping dengan membantu mencapai keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat juga harus sangat melibatkan anak dalam merencanakan proses perkembangan. Karena preadolesens memiliki keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat sehingga dapat merencanakan aktifitas perkembngan.

Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara kooperatif dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang budaya. Dalam  proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan psikososial dan fisik (misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi pernapasan, penyesuaian yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan sebaya tidak adekuat, atau gangguan  belajar). Perawat harus merancang intervensi peningkatan kesehatan anak dengan turut mengkaji kultur yang berkembang pada anak. Agar tidak terjadi konflik budaya terhadap anak yang akan mengakibatkan tidak optimalnya pegasuhan dan perawatan anak.

 


2.1.3 Perawatan pada Lanjut Usia

Masa dewasa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara 65 -75 tahun. Petugas kesehatan lebih banyak meluangkan waktunya dengan lansia dalam perawatan kesehatan karena itu mereka harus fokus untuk mengidentifikasi dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Asuhan keperawatan pada lansia adalah proses kompleks dan menantang yang harus memperhitungkan hal –hal berikut untuk menjamin pendekatan sesuai usia ( Lueckenotte 1994).

Secara umum pengaplikasian caring pada klien lanjut usia meliputi peningkatan dan pemeliharaan kesehatan, dukungan psikososial, keadaan rumah, pengobatan mandiri, penyesuaian, dan penghematan. Hal tersebut penting untuk dimaksudkan di dalam kegiatan rutinitas atau ritual klien jika mungkin. Intervensi secara umum diitunjukkan pada memfasilitasi kemandirian dan mendukung kemampuan perawatan diri. Aktivitas perawatan membutuhkan lebih banyak waktu karena respons yang lebih lambat, banyak masalah, dan hubungan yang dekat antara aspek fisik dan psikososial penuaan.

Budaya dapat mempengaruhi peran bahwa anggota keluarga akan mengambil keputusan dalam mengurus anggota keluarga yang lebih tua. Mayoritas masyarakat timur, orang dewasa yang lebih tua lebih memilih untuk “tutup usia di tempat” yaitu untuk tinggal di rumah mereka dan di lingkungan mereka selama mungkin. Sedangkan mayoritas masyarakat barat, orang dewasa yang lebih tua lebih memilih untuk tinggal di panti jompo.


2.1.4 Perawatan Menjelang dan Saat Kematian

Perawat sebagai pelayan kesehatan memiliki peran yang sangat penting bagi keluarga dan pasien yang akan menjelang ajal. Seorang perawat harus dapat berbagi penderitaan dan mengintervensi pada saat klien menjelang ajal untuk meningkatkan kualitas hidup.

Menjelang ajal atau kondisi terminal adalah suatu proses yang progresi menuju kematian berjalan melalui tahapan proses penurunan fisik, psikososial, dan spiritual bagi individu. Secara umum pengaplikasian caring pada klien menjelang ajal berupa:

1. Peningkatan kenyamanan

Kenyamanan bagi klien menjelang ajal termasuk pengenalan dan perbedaan distress . Hal-hal yang harus diperhatikan dalam peningkatan kenyamanan yaitu:

1)        Kontrol nyeri; Seluruh pelayan kesehatan dan keluarga harus dapat membantu klien mengatasi rasa nyeri,karena nyeri dapat mempengaruhi klien dalam memenuhi kebutuhan istirahat tidur,nafsu makan,mobilitas dan fungsi psikologis.

2)        Ketakutan; Tenaga kesehatan dan keluarga harus dapat membantu klien mengurangi rasa ketakutan terhadap gejala yang ditimbulkan seperti nyeri umum yang selalu datang setiap saat yang dapat membuat sagala aktifitas terganggu. 

3)        Pemberian terapi dan pengendalian gejala penyakit; Pemberian terapi merupakan bagian yang dapat mengurangi rasa tidak nyaman seperti rasa nyeri dapat teratasi setelah pemberian terapi,pemberian chemotherapi,dan radiasi dapat membantu mengurangi penyebaran penyakit.

4)        Higiene personal; Pemenuhan kebersihan diri merupakan salah satu yang harus dipenuhi agar klien merasa segar dan nyaman.

 

2. Pemeliharaan Kemandirian

Adalah pilihan yang diberikan kepada klien menjelang ajal untuk memilih tempat perawatan dan memberikan kebebasan sesuai kemampuan klien,karena sebagian besar klien menjelang ajal menginginkan sebanyak mungkin mapan diri.

Dalam pemeliharaan kemandirian dapat dilakukan bisa perawatan akut dirumah sakit,ada juga perawatan dirumah atau perawatan hospice.


1) Pemeliharaan kemandirian di rumah sakit

Klien yang memilih tempat perawatan menjelang ajal dirumah sakit diberikan kebebasan sesuai kemampuan. Sikap perawat dalam pemeliharaan kemandirian di rumah sakit : 

a.         Perawat harus mengimformasikan klien tentang pilihan 

b.        Perawat dapat memberikan dorongan dengan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan untuk memberikan rasa kontrol klien 

c.         Perawat tidak boleh memaksakan bantuan 

d.        Perawat memberikan dorongan kepada keluarga untuk memberikan kebebasan klien membuat keputusan.


3. Pemeliharaan kemandirian dirumah (perawatan hospice)

Adalah perawatan yang berpusat pada keluarga yang dirancang untuk membantu klien sakit terminal untuk dapat dengan nyaman dan mempertahankan gaya hidupnya senormal mungkin sepanjang proses menjelang ajal.

Menurut Pitorak (1985) mengambarkan komponen perawatan hospice sebagai berikut : 

a.         Perawatan dirumah yang terkoordinasi dengan pelayanan rawat jalan dibawah administrasi rumah sakit 

b.        Kontrol gejala (fisik,sosiologi,fisiologi, dan spiritual ). 

c.         Pelayanan yang diarahkan dokter

d.        Perawatan interdisiplin ilmu 

e.         Pelayanan medis dan keperawatan tersedia sepanjang waktu 

f.         Klien dan keluarga sebagai unit perawatan 

g.        Tindak lanjut kehilangan karena kematian 

h.        Penggunaan tenaga sukarela terlatih sebagai bagian tim

i.          Penerimaan kedalam program berdasarkan pada kebutuhan perawatan kesehatan ketimbang pada kemampuan untuk membayar.

 

4. Pencegahan Kesepian dan isolasi

Untuk mencegah kesepian dan penyimpangan sensori perawat menintervensi kualitas lingkungan. Hal-hal yang dilakukan untuk mencegah kesepian dan isolasi yaitu :

a.    Tempatkan pasien pada ruangan biasa ( bergabung dengan pasien lain) tidak perlu ruangan tersendiri, kecuali pada keadaan kritis atau tidak sadar.

b.      Libatkan klien dalam program perawatan sesuai kemampuan klien, agar klien merasa diperhatikan. 

c.  Berikan pencahayaan yang baik dan bisa diatur agar memberikan stimulus yang bermakna.  memberikan stimulus berupa gambar, benda yang menyenangkan, atau surat dari anggota keluarga. 

d.        Libatkan keluarga dan teman untuk lebih perhatian 

e.         Berikan waktu yang cukup kepada keluarga untuk menjenguk atau menemani klien.

 

5. Peningkatan ketenangan spiritual

Memberikan ketenangan spiritual mempunyai arti lebih besar dari sekedar kunjung rohani. Perawat dapat memberikan dukungan kepada klien dalam mengekspresikan filosofi kehidupan. Ketika kematian mendekat, klien sering mencari ketenangan dengan menganalisa nilai dan keyakinan yang berhubungan dengan hidup dan mati. Perawat dan keluarga dapat membantu klien dengan mendengarkan dan mendorong klien untuk mengekspresikan tentang nilai dan keyakinan, perawat dan keluarga dapat memberikan ketenangan spiritual dengan menggunakan keterampilan komunikasi, mengekspresikan simpati, berdoa dengan klien.


6. Dukungan untuk keluarga yang berduka

Dukungan diberikan agar keluarga dapat menerima dan tidak terbawa kedalam situasi duka berkepanjangan. Hal-hal yang dilakukan perawat perhatikan yaitu :

a.         perawat harus mengenali nilai anggota keluarga sebagai sumber dan membantu mereka untuk tetap berada dengan klien menjelang ajal. 

b.        Mengembangkan hubungan suportif. 

c.         Menghilangkan ansietas dan ketakutan keluarga 

d.        Menetapkan apakah mereka/ keluarga ingin dilibatkan.


Perawatan Setelah Kematian

Perawat mungkin orang yang paling tepat untuk merawat tubuh klien setelah kematian karena hubungan terapeutik perawat-klien yang telah terbina selama fase sakit. Dengan demikian perawat mungkin lebih sensitif dalam menangani tubuh klien dengan martabat dan sensitivitas.

Peran perawat dalam perawatan setelah kematian yaitu : 

a)        Perawat menyiapkan tubuh klien dengan membuatnya tampak sealamiah dan senyaman mungkin 

b)        Perawat memberikan kesempatan pada keluarga untuk melihat tubuh klien

c)        Perawat memberikan pendampingan pada keluar pada saat melihat tubuh klien 

d)       Perawat harus meluangkan waktu sebanyak mungkin dalam membantu keluarga yang berduka


DAFTAR PUSTAKA

Giger. J.J & Davidhizar R.E, (1995). Transcultural Nursing : Assessment and Invention, 2nd Ed. Missouri : Mosby Year Book Inc

Leininger, M. dan Mc Farland, M.R. (2002). Transcultural Nursing: Concept, Theories, Research and Practice. 3 rd Edition. USA: Mc-Graw Hill Companies

Leininger, M. Cultural Care Theory : A Major Contribution to Advance Transcultural Nursing Knowledge and Practices. Diakses pada tanggal 20 November 2020.  http://tcn.sagepub.com/content/13/3/189

Potter, P.A. dan Perry, A.G. (2009). Fundamental of Nursing: Concepts, Process, and Practice. 7th Edition. St. Louis: Elsevier


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.