Aplikasi Transcultural Nursing Sepanjang Daur Kehidupan Manusia
2.1 Aplikasi Transcultural Nursing Sepanjang
Daur Kehidupan Manusia
2.1.1 Perawatan Kehamilan dan Kelahiran
Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi
oleh aspek sosial dan budaya dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran
tertentu, fisiologi kelahiran secara universal sama. Namun proses kelahiran
sering ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh aneka kelompok
masyarakat (Jordan, 1993).
Berbagai kelompok yang memiliki penilaian
terhadap aspek kultural tentang kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa
itu merupakan tahapan yang harus dijalani didunia. Salah satu kebudayaan
masyarakat kerinci di Provinsi Jambi misalnya, wanita hamil dilarang makan
rebung karena menurut masyarakat setempat jika wanita hamil makan rebung maka
bayinya akan berbulu seperti rebung. Makan jantung pisang juga diyakini menurut
keyakinan mereka akan membuat bayi lahir dengan ukuran yang kecil.
Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang
menginjak usia kehamilan tujuh bulan diberikan kepada ibunya ulos tondi
agar wanita hamil tersebut selamat dalam proses melahirkan. Ketika sang
bayi lahir pun nenek dari pihak ibu memberikan lagi ulos tondi kepada cucunya
sebagai simbol perlindungan. Sang ibu akan menggendong anaknya dengan ulos
tersebut agar anaknya selalu sehat dan cepat besar. Ulos tersebut dinamakan
ulos parompa.
Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini, pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan keluarga.
Menurut Meutia Farida Swasono salah satu
contoh dari masyarakat yang sering menitikberatkan perhatian pada aspek krisis
kehidupan dari peristiwa kehamilan dan kelahiran adalah orang jawa yang di
dalam adat adat istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat yang rinci untuk
menyambut kelahiran bayi seperti pada upacara mitoni, procotan, dan
brokohan.
Perbedaan yang paling mencolok antara
penanganan kehamilan dan kelahiran oleh dunia medis dengan adat adalah orang
yang menanganinya, kesehatan modern penanganan oleh dokter dibantu oleh
perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi penangana dengan adat dibantu
oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya adalah
perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan tertentu, dukun bayi adalah laki
laki seperti pada masyarakat Bali Hindu yang disebut balian manak dengan
usia di atas 50 tahun dan profesi ini tidak dapat digantikan oleh
perempuan karena dalam proses menolong persalinan, sang dukun harus
membacakan mantra-mantra yang hanya boleh diucapkan oleh laki laki karena sifat
sakralnya.
Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam. Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang guru karena merasa terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses semata mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian, sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang sesuai keperluan itu. Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak ramuan untuk dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses persalinan.
Menurut pendekatan biososiokultural dalam
kajian antropologi, kehamilan dan kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis
dan fisiologis saja, melainkan sebagai proses yang mencakup pemahaman dan
pengaturan hal-hal seperti; pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran,
persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah
tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan bahaya, penggunaan ramuan
atau obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran, pusat kekuatan
dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta perawatan bayi dan
ibunya.
Berdasarkan uraian diatas, perawat harus
mampu memahami kondisi kliennya yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga
dituntut untuk memiliki keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan
komprehensif sepanjang waktu berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik,
riwayat biokultural, organisasi sosial, agama dan kepercayaan serta pola
komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang dan mendatang.
Untuk itu penting bagi perawat memahami orientasi waktu wanita yang mengalami
transisi kehidupan dan sensitif terhadap warisan budaya keluarganya.
2.1.2 Perawatan dan Pengasuhan Anak
Di sepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan bisa mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak. Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis.
Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya
ada 5 (lima) sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,yaitu:
Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting
individual di mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi : keluarga, teman
sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga.
Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara
mikro sistem, misalnya hubungan pengalaman-pengalaman yang didapatkan di dalam
keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman
sebaya.
Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan
pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki
pengaruh langsung terhadap perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang tua
dan media massa.
Keempat, sistem makro yang merupakan budaya di mana
individu hidup, seperti : ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial
masyarakat.
Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik). Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung.
Proses sosialisasi pada anak secara umum
melalui 4 fase, yaitu:
1) Fase Laten (Laten Pattern), pada fase
ini proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan
individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya.
Pada fase ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase
ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”.
2) Fase Adaptasi (Adaption), pada fase
ini anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas
rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Orangtua berperan besar pada
fase adaptasi, karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan
dan bimbingan orangtuanya.
3) Fase Pencapaian Tujuan (Goal
Attainment), pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak hanya sekadar
memberikan umpan balik atas rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya, tapi
sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku
tertentu untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya.
4) Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan, tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri.
Interaksi anak dengan lingkungannya secara
tidak langsung telah mengenalkan dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada
di sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga turut berperan serta dalam tumbuh
kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh budaya yang ada
di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam memberikan pengasuhan dan perawatan perlu
mengarahkan anak pada perilaku perkembangan yang normal, membantu dalam
memaksimalkan kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk koping dengan
membantu mencapai keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat juga harus
sangat melibatkan anak dalam merencanakan proses perkembangan. Karena
preadolesens memiliki keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat sehingga
dapat merencanakan aktifitas perkembngan.
Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja
dan bermain secara kooperatif dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai
latar belakang budaya. Dalam proses ini, anak mungkin menghadapi masalah
kesehatan psikososial dan fisik (misalnya meningkatnya kerentanan terhadap
infeksi pernapasan, penyesuaian yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan
sebaya tidak adekuat, atau gangguan belajar). Perawat harus merancang
intervensi peningkatan kesehatan anak dengan turut mengkaji kultur yang
berkembang pada anak. Agar tidak terjadi konflik budaya terhadap anak yang akan
mengakibatkan tidak optimalnya pegasuhan dan perawatan anak.
2.1.3 Perawatan pada Lanjut Usia
Masa
dewasa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara 65 -75 tahun.
Petugas kesehatan lebih banyak meluangkan waktunya dengan lansia dalam
perawatan kesehatan karena itu mereka harus fokus untuk mengidentifikasi dalam
memenuhi kebutuhan khususnya. Asuhan keperawatan pada lansia adalah proses
kompleks dan menantang yang harus memperhitungkan hal –hal berikut untuk
menjamin pendekatan sesuai usia ( Lueckenotte 1994).
Secara umum pengaplikasian caring pada klien lanjut
usia meliputi peningkatan dan pemeliharaan
kesehatan, dukungan psikososial, keadaan rumah, pengobatan mandiri, penyesuaian,
dan penghematan. Hal tersebut penting untuk dimaksudkan di dalam kegiatan
rutinitas atau ritual klien jika mungkin. Intervensi secara umum diitunjukkan
pada memfasilitasi kemandirian dan mendukung kemampuan perawatan diri.
Aktivitas perawatan membutuhkan lebih banyak waktu karena respons yang lebih lambat,
banyak masalah, dan hubungan yang dekat antara aspek fisik dan psikososial penuaan.
Budaya dapat mempengaruhi peran bahwa anggota keluarga akan mengambil keputusan dalam mengurus anggota keluarga yang lebih tua. Mayoritas masyarakat timur, orang dewasa yang lebih tua lebih memilih untuk “tutup usia di tempat” yaitu untuk tinggal di rumah mereka dan di lingkungan mereka selama mungkin. Sedangkan mayoritas masyarakat barat, orang dewasa yang lebih tua lebih memilih untuk tinggal di panti jompo.
2.1.4 Perawatan Menjelang dan Saat Kematian
Perawat
sebagai pelayan kesehatan memiliki peran yang sangat penting bagi keluarga dan
pasien yang akan menjelang ajal. Seorang perawat harus dapat berbagi
penderitaan dan mengintervensi pada saat klien menjelang ajal untuk
meningkatkan kualitas hidup.
Menjelang
ajal atau kondisi terminal adalah suatu proses yang progresi menuju kematian
berjalan melalui tahapan proses penurunan fisik, psikososial, dan spiritual
bagi individu. Secara umum pengaplikasian caring pada klien menjelang ajal
berupa:
1. Peningkatan kenyamanan
Kenyamanan bagi klien menjelang
ajal termasuk pengenalan dan perbedaan distress . Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam peningkatan kenyamanan yaitu:
1)
Kontrol nyeri; Seluruh pelayan kesehatan dan
keluarga harus dapat membantu klien mengatasi rasa nyeri,karena nyeri dapat
mempengaruhi klien dalam memenuhi kebutuhan istirahat tidur,nafsu
makan,mobilitas dan fungsi psikologis.
2)
Ketakutan; Tenaga kesehatan dan keluarga
harus dapat membantu klien mengurangi rasa ketakutan terhadap gejala yang
ditimbulkan seperti nyeri umum yang selalu datang setiap saat yang dapat
membuat sagala aktifitas terganggu.
3)
Pemberian terapi dan pengendalian gejala
penyakit; Pemberian terapi merupakan bagian yang dapat mengurangi rasa tidak
nyaman seperti rasa nyeri dapat teratasi setelah pemberian terapi,pemberian
chemotherapi,dan radiasi dapat membantu mengurangi penyebaran penyakit.
4)
Higiene personal; Pemenuhan kebersihan diri
merupakan salah satu yang harus dipenuhi agar klien merasa segar dan nyaman.
2. Pemeliharaan Kemandirian
Adalah
pilihan yang diberikan kepada klien menjelang ajal untuk memilih tempat
perawatan dan memberikan kebebasan sesuai kemampuan klien,karena sebagian besar
klien menjelang ajal menginginkan sebanyak mungkin mapan diri.
Dalam
pemeliharaan kemandirian dapat dilakukan bisa perawatan akut dirumah sakit,ada
juga perawatan dirumah atau perawatan hospice.
1) Pemeliharaan kemandirian di rumah
sakit
Klien yang
memilih tempat perawatan menjelang ajal dirumah sakit diberikan kebebasan
sesuai kemampuan. Sikap perawat dalam pemeliharaan kemandirian di rumah sakit :
a.
Perawat harus mengimformasikan klien tentang
pilihan
b.
Perawat dapat memberikan dorongan dengan
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan untuk memberikan rasa kontrol klien
c.
Perawat tidak boleh memaksakan bantuan
d. Perawat memberikan dorongan kepada keluarga untuk memberikan kebebasan klien membuat keputusan.
3. Pemeliharaan kemandirian dirumah
(perawatan hospice)
Adalah
perawatan yang berpusat pada keluarga yang dirancang untuk membantu klien sakit
terminal untuk dapat dengan nyaman dan mempertahankan gaya hidupnya senormal
mungkin sepanjang proses menjelang ajal.
Menurut
Pitorak (1985) mengambarkan komponen perawatan hospice sebagai berikut :
a. Perawatan dirumah yang terkoordinasi dengan pelayanan rawat jalan dibawah administrasi rumah sakit
b. Kontrol gejala (fisik,sosiologi,fisiologi, dan spiritual ).
c.
Pelayanan yang diarahkan dokter
d. Perawatan interdisiplin ilmu
e. Pelayanan medis dan keperawatan tersedia sepanjang waktu
f. Klien dan keluarga sebagai unit perawatan
g. Tindak lanjut kehilangan karena kematian
h.
Penggunaan tenaga sukarela terlatih sebagai
bagian tim
i.
Penerimaan kedalam program berdasarkan pada kebutuhan
perawatan kesehatan ketimbang pada kemampuan untuk membayar.
4. Pencegahan Kesepian dan isolasi
Untuk
mencegah kesepian dan penyimpangan sensori perawat menintervensi kualitas
lingkungan. Hal-hal yang dilakukan untuk mencegah kesepian dan isolasi yaitu :
a. Tempatkan pasien pada ruangan biasa (
bergabung dengan pasien lain) tidak perlu ruangan tersendiri, kecuali pada
keadaan kritis atau tidak sadar.
b. Libatkan klien dalam program perawatan sesuai kemampuan klien, agar klien merasa diperhatikan.
c. Berikan pencahayaan yang baik dan bisa diatur agar memberikan stimulus yang bermakna. memberikan stimulus berupa gambar, benda yang menyenangkan, atau surat dari anggota keluarga.
d. Libatkan keluarga dan teman untuk lebih perhatian
e.
Berikan waktu yang cukup kepada keluarga
untuk menjenguk atau menemani klien.
5. Peningkatan ketenangan spiritual
Memberikan
ketenangan spiritual mempunyai arti lebih besar dari sekedar kunjung rohani.
Perawat dapat memberikan dukungan kepada klien dalam mengekspresikan filosofi
kehidupan. Ketika kematian mendekat, klien sering mencari ketenangan dengan
menganalisa nilai dan keyakinan yang berhubungan dengan hidup dan mati. Perawat
dan keluarga dapat membantu klien dengan mendengarkan dan mendorong klien untuk
mengekspresikan tentang nilai dan keyakinan, perawat dan keluarga dapat
memberikan ketenangan spiritual dengan menggunakan keterampilan komunikasi,
mengekspresikan simpati, berdoa dengan klien.
6. Dukungan untuk keluarga yang
berduka
Dukungan
diberikan agar keluarga dapat menerima dan tidak terbawa kedalam situasi duka
berkepanjangan. Hal-hal yang dilakukan perawat perhatikan yaitu :
a. perawat harus mengenali nilai anggota keluarga sebagai sumber dan membantu mereka untuk tetap berada dengan klien menjelang ajal.
b. Mengembangkan hubungan suportif.
c. Menghilangkan ansietas dan ketakutan keluarga
d. Menetapkan apakah mereka/ keluarga ingin dilibatkan.
Perawatan Setelah Kematian
Perawat mungkin orang yang paling tepat untuk merawat tubuh klien setelah kematian karena hubungan terapeutik perawat-klien yang telah terbina selama fase sakit. Dengan demikian perawat mungkin lebih sensitif dalam menangani tubuh klien dengan martabat dan sensitivitas.
Peran
perawat dalam perawatan setelah kematian yaitu :
a)
Perawat menyiapkan tubuh klien dengan
membuatnya tampak sealamiah dan senyaman mungkin
b)
Perawat memberikan kesempatan pada keluarga
untuk melihat tubuh klien
c)
Perawat memberikan pendampingan pada keluar
pada saat melihat tubuh klien
d)
Perawat harus meluangkan waktu sebanyak
mungkin dalam membantu keluarga yang berduka
DAFTAR PUSTAKA
Giger. J.J & Davidhizar R.E, (1995). Transcultural Nursing :
Assessment and Invention, 2nd Ed. Missouri : Mosby Year Book Inc
Leininger, M. dan Mc Farland, M.R. (2002).
Transcultural Nursing: Concept, Theories, Research and Practice. 3 rd
Edition. USA: Mc-Graw Hill Companies
Leininger, M.
Cultural Care Theory : A Major Contribution to Advance
Transcultural Nursing Knowledge and Practices. Diakses pada tanggal 20
November 2020. http://tcn.sagepub.com/content/13/3/189
Potter, P.A. dan Perry, A.G. (2009). Fundamental
of Nursing: Concepts, Process, and Practice. 7th Edition. St. Louis:
Elsevier
Tidak ada komentar: