Penatalaksanaan Pasien dengan NAPZA

April 13, 2021

 


 

A.    Penatalaksanaan

         Upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :

1.      Preventif (pencegahan), yaitu untuk membentuk masyarakat yang mempunyai ketahanan dan kekebalan terhadap narkoba, dengan cara seperti:

  • ·   Pembinaan dan pengawasan dalam keluarga,
  • ·   Penyuluhan oleh pihak yang kompeten baik di sekolah dan masyarakat,
  • ·   Pengajian oleh para ulama,
  • ·   Pengawasan tempat-tempat hiburan malam oleh pihak keamanan,
  • ·   Pengawasan obat-obatan illegal dan,
  •     Melakukan tindakan-tindakan lain yang bertujuan untuk mengurangi atau meniadakan kesempatan terjadinya penyalahgunaan narkoba.

·   Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA

·   Deteksi dini perubahan perilaku

·   Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak pada narkoba”

 

2.       Represif (penindakan), yaitu menindak dan memberantas penyalahgunaan narkoba melalui jalur hukum, yang dilakukan oleh para penegak hukum atau aparat kemananan yang dibantu oleh masyarakat.

·   Melaporkan kepada pihak berwajib jika ada seseorang yang menyalahgunakan narkoba.

·   Tidak boleh main hakim sendiri


 

3.       Kuratif (pengobatan), bertujuan penyembuhan para korban baik secara medis maupun dengan media lain.

·   Mendirikan tempat-tempat penyembuhan dan rehabilitas pecandu narkoba seperti Yayasan Titihan Respati, pesantren-pesantren, yayasan Pondok Bina Kasih, dan lain-lain.

         Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:

a)      Detoksifikasi tanpa subsitusi

Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat  tersebut berhenti sendiri.

b)  Detoksifikasi dengan substitusi

Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.

         Sesudah klien penyalahgunaan / ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).

         Klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun.

 

4.      Rehabilitatif (rehabilitasi) adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin.

Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).

·         Kita tidak boleh mengasingkan para korban Narkoba yang sudah sadar dan bertobat, supaya mereka tidak terjerumus kembali sebagai pecandu narkoba.

Dengan rehabilitasi pengguna NAPZA mampu:

·   Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi

·   Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA

·   Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya

·   Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik

·   Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja

·   Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya

 

Klasifikasi Rehabilitasi

1)      Rehabilitasi psikososial

2)      Rehabilitasi kejiwaan

3)      Rehabilitasi komunitas

4)      Rehabilitasi keagamaan


Bentuk-bentuk Kegiatan Rehabilitasi

a)Latihan jasmani

b)      Akupuntur

c)Terapi relaksasi

d)     Terapi tingkah laku

e)Terapi disulfiram (untuk alkohol)

f)    Terapi antagonis opioida

g)      Metadone maintenance program

h)      Psikoterapi individual

i)     Konseling

j)     Psikodrama

 

Upaya Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA

1)      Pencegahan primer :

Mengenali remaja resiko tinggi penyalahgunaan NAPZA dan melakukan intervensi.

Upaya ini terutama dilakukan untuk mengenali remaja yang mempunyai resiko tinggi untuk menyalahgunakan NAPZA, setelah itu melakukan intervensi terhadap mereka agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor yang dapat menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik.

 

2)      Pencegahan Sekunder :

Mengobati dan intervensi agar tidak lagi menggunakan NAPZA.

 

3)      Pencegahan Tersier :

Merehabilitasi penyalahgunaan NAPZA.


 

Modalitas Terapi NAPZA

1. Therapeutic Community -TC Model

Model ini merujuk pada keyakinan bahwa gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada seseorang secara menyeluruh. Pendekatan yang dilakukan meliputi terapi individual dan kelompok, sesi encounter yang intensif dengan kelompok sebaya dan partisipasi dari lingkungan terapeutik dengan peran yang hirarki, diberikan juga keistimewaan (privileges) dan tanggung jawab.

Model ini merupakan perawatan inap dengan periode  perawatan dari dua belas sampai delapan belas bulan yang diikuti dengan program after-care jangka pendek

 

2. Model Medik

Model ini berbasis pada biologik dan genetik atau fisiologik sebagai penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter dan memerlukan farmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta perubahan perilaku. Program ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program rawat inap sampai kondisi bebas dari rawat inap atau kembali ke fasilitas di masyarakat.

 

3. Model Minnesota

Model ini berfokus pada abstinen atau bebas NAPZA sebagai tujuan utama pengobatan. Penerapan model ini berlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat inap dengan lanjutan aftercare, termasuk mengikuti program self help group (Alcohol Anonymous atau Narcotics Anonymous) serta layanan lain sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu.


4. Model Eklektik

Model ini menerapkan pendekatan secara holistik dalam program rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan program 12 langkah merupakan pelengkap program TC yang menggunakan pendekatan perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi masalah yang ada pada setiap pasien adiksi.

 

5. Model Multi Disiplin

Program ini merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan menggunakan komponen disiplin yang terkait termasuk reintegrasi dan kolaborasi dengan keluarga dan pasien.

 

6. Model Tradisional

Tergantung pada kondisi setempat dan terinpirasi dari hal-hal praktis dan keyakinan yang selama ini sudah dijalankan. Program bersifat jangka pendek dengan aftercare singkat atau tidak sama sekali. Komponen dasar terdiri dari medikasi, pengobatan alternatif, ritual dan keyakinan yang dimiliki oleh sistem lokal contoh : pondok pesantren, pengobatan tradisional atau herbal.

 

7. Faith Based Model

Sama dengan model tradisional hanya pengobatan tidak menggunakan farmakoterapi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Depkes. (2001). Buku Pedoman Tentang Masalah Medis yang Dapat Terjadi di Tempat Rehabilitasi pada Pasien Ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat

Depkes. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan RI Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Hidayat, A.A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi, Konsep, dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba.

http://www.bnn.go.id

Keliat, Budi Ana. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi 2. Jakarta: EGC

Kusumawati, Farida. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.