Penatalaksanaan Pasien dengan NAPZA
A. Penatalaksanaan
Upaya penanggulangan penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :
1.
Preventif
(pencegahan), yaitu untuk membentuk masyarakat yang
mempunyai ketahanan dan kekebalan terhadap narkoba, dengan cara seperti:
- ·
Pembinaan dan pengawasan dalam keluarga,
- ·
Penyuluhan oleh pihak yang kompeten baik di
sekolah dan masyarakat,
- ·
Pengajian oleh para ulama,
- ·
Pengawasan tempat-tempat hiburan malam oleh
pihak keamanan,
- · Pengawasan obat-obatan illegal dan,
- Melakukan tindakan-tindakan lain yang bertujuan untuk mengurangi atau meniadakan kesempatan terjadinya penyalahgunaan narkoba.
·
Memberikan informasi dan pendidikan yang
efektif tentang NAPZA
·
Deteksi
dini perubahan perilaku
·
Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to
drugs”) atau “Katakan tidak pada narkoba”
2.
Represif (penindakan), yaitu menindak
dan memberantas penyalahgunaan narkoba melalui jalur hukum, yang dilakukan oleh
para penegak hukum atau aparat kemananan yang dibantu oleh masyarakat.
·
Melaporkan kepada pihak berwajib jika ada
seseorang yang menyalahgunakan narkoba.
·
Tidak boleh main hakim sendiri
3.
Kuratif (pengobatan),
bertujuan penyembuhan para korban baik secara medis maupun dengan media lain.
·
Mendirikan tempat-tempat penyembuhan dan
rehabilitas pecandu narkoba seperti Yayasan Titihan Respati,
pesantren-pesantren, yayasan Pondok Bina Kasih, dan lain-lain.
Terapi pengobatan
bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya
untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a)
Detoksifikasi tanpa
subsitusi
Klien
ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami
gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan
gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus
zat tersebut berhenti sendiri.
b) Detoksifikasi
dengan substitusi
Putau atau heroin dapat
disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan
metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis
anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara
penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian
substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik,
misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai
dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
Sesudah klien penyalahgunaan /
ketergantungan NAPZA menjalani program
terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pasca
detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan
dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).
Klien
tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi
(rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan.
Lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa
beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun.
4. Rehabilitatif (rehabilitasi) adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh
dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar
pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan
fungsional seoptimal mungkin.
Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik
fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus
memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
·
Kita tidak boleh
mengasingkan para korban Narkoba yang sudah sadar dan bertobat, supaya mereka
tidak terjerumus kembali sebagai pecandu narkoba.
Dengan rehabilitasi pengguna NAPZA mampu:
·
Mempunyai motivasi
kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
·
Mampu menolak
tawaran penyalahgunaan NAPZA
·
Pulih kepercayaan
dirinya, hilang rasa rendah dirinya
·
Mampu mengelola
waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
·
Dapat berkonsentrasi
untuk belajar atau bekerja
·
Dapat diterima dan
dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya
Klasifikasi
Rehabilitasi
1) Rehabilitasi psikososial
2) Rehabilitasi kejiwaan
3) Rehabilitasi komunitas
4) Rehabilitasi keagamaan
Bentuk-bentuk
Kegiatan Rehabilitasi
a)Latihan jasmani
b) Akupuntur
c)Terapi relaksasi
d) Terapi tingkah laku
e)Terapi disulfiram (untuk alkohol)
f) Terapi
antagonis opioida
g) Metadone maintenance program
h) Psikoterapi individual
i) Konseling
j) Psikodrama
Upaya
Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA
1)
Pencegahan primer :
Mengenali
remaja resiko tinggi penyalahgunaan NAPZA dan melakukan intervensi.
Upaya
ini terutama dilakukan untuk mengenali remaja yang mempunyai resiko tinggi
untuk menyalahgunakan NAPZA, setelah itu melakukan intervensi terhadap mereka
agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia
dini, agar faktor yang dapat menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi
dengan baik.
2)
Pencegahan Sekunder :
Mengobati
dan intervensi agar tidak lagi menggunakan NAPZA.
3)
Pencegahan Tersier :
Merehabilitasi penyalahgunaan NAPZA.
Modalitas Terapi NAPZA
1. Therapeutic Community -TC Model
Model ini merujuk pada keyakinan bahwa gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada
seseorang secara menyeluruh. Pendekatan yang dilakukan
meliputi terapi individual dan kelompok, sesi encounter yang intensif dengan
kelompok sebaya dan partisipasi dari lingkungan terapeutik dengan peran yang hirarki,
diberikan juga keistimewaan (privileges) dan tanggung jawab.
Model ini merupakan perawatan inap dengan
periode perawatan dari dua belas sampai
delapan belas bulan yang diikuti dengan program after-care jangka pendek
2. Model Medik
Model ini berbasis pada biologik dan genetik
atau fisiologik sebagai penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter dan
memerlukan farmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta perubahan
perilaku. Program ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program rawat inap
sampai kondisi bebas dari rawat inap atau kembali ke fasilitas di masyarakat.
3. Model Minnesota
Model ini berfokus pada abstinen atau bebas NAPZA sebagai tujuan utama pengobatan. Penerapan model ini berlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat inap dengan lanjutan aftercare, termasuk mengikuti program self help group (Alcohol Anonymous atau Narcotics Anonymous) serta layanan lain sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu.
4. Model Eklektik
Model ini menerapkan pendekatan secara holistik
dalam program rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan
program 12 langkah merupakan pelengkap program TC yang menggunakan pendekatan
perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi masalah yang ada pada setiap
pasien adiksi.
5. Model Multi Disiplin
Program ini merupakan pendekatan yang lebih
komprehensif dengan menggunakan komponen disiplin yang terkait termasuk reintegrasi dan kolaborasi dengan keluarga dan
pasien.
6. Model Tradisional
Tergantung pada kondisi setempat dan
terinpirasi dari hal-hal praktis dan keyakinan yang selama ini sudah
dijalankan. Program bersifat jangka pendek dengan aftercare singkat atau tidak
sama sekali. Komponen dasar terdiri dari medikasi, pengobatan alternatif,
ritual dan keyakinan yang dimiliki oleh sistem lokal contoh : pondok pesantren,
pengobatan tradisional atau herbal.
7. Faith Based Model
Sama dengan model
tradisional hanya pengobatan tidak menggunakan farmakoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes. (2001). Buku Pedoman Tentang Masalah Medis yang
Dapat Terjadi di Tempat Rehabilitasi pada Pasien Ketergantungan NAPZA.
Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat
Depkes. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan RI Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan
Ketergantungan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA). Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Hidayat, A.A.
(2006). Pengantar Kebutuhan Dasar
Manusia: Aplikasi, Konsep, dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba.
Keliat, Budi Ana.
(2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa,
Edisi 2. Jakarta: EGC
Kusumawati, Farida.
(2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
Tidak ada komentar: