NAHDLOTUL ‘ULAMA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Desember 08, 2019

 

Secara historis, NU memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Jika dirunut maka akan didapati bagaimana peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun secara akademis, kontribusi NU terhadap bangsa dan negara tidak sepenuhnya tertulis pada sejarah ‘resmi’ Negara, bahkan sering pula NU disalahpahami sebagai organisasi jumud fan tradisionalis, pragmatis, dan oportunis.


 

Labeling seperti ini memang disandarkan atas realitas bahwa NU sebagai organisasi pernah melakukan tindakan politik untuk membela Soekarno dalam memutuskan konsep Nasionalisme Agama dan Komunis (Nasakom), yang saat itu dianggap sebagai sebuah konsepsi yang salah oleh organisasi sosial keagamaan lainnya, sebab menempatkan agama dan komunis dalam satu bangunan konsep. Selain itu, NU juga pernah mengangkat Soekarno sebagai Waliy al-amri dharury bi asy-syaukah, yang dianggap oleh lainnya sebagai langkah opportunism politik.
Terlepas dari berbagai macam symbol yang disematkan kepada NU, tetapi yang jelas bahwa NU telah mewarnai sejarah pergerakan bangsa Indonesia semenjak awal kemerdekaan Indonesia hingga dekade akhir-akhir ini. Dan salah satu aspek penting dalam kontribusi NU tersebut adalah bagaimana NU menyatakan final terhadapa konsepsi empat pilar Negara Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Bagi NU, empat pilar bangsa tersebut merupakan ijtihad politik bersifat final bagi bangsa Indonesia.


2.1  Peran NU di Bidang Pendidikan
Nahdlatul Ulama memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya merupakan komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan tanggung jawab dan harmonisasi. Fungsi pendidikan bagi Nahdlatul Ulama adalah, satu, untuk mencerdaskan manusia dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia, dua, untuk memberikan wawasan yang plural sehingga mampu menjadi penopang pembangunan bangsa.
Gerakan pendidikan Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul Ulama sebagai organisasi secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan Nahdlatul Ulama dimulai dari berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi penyelenggara pendidikan yang lahir sebagai produk pemikiran yang dihasilkan oleh forum diskusi yang disebut Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu pendidikan sekolah atau madrasah yang teratur. Dalam mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama memandang perlunya proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur.Sekolah atau madrasah menjadi salah satu program permanen Nahdlatul Ulama, disamping jalur non formal seperti pesantren.
        Sekolah atau madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental, percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan, Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah atau madrasah dan segala bidang kegiatannya.
        Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929 M atau bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi lebih baik. Sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi yang dimaksud adalah :
1)      Visi
a)      Terciptanya manusia unggul yang mampu berkompetisi dan sains dan teknologi serta berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b)      Tersedianya kader-kader bangsa yang cakap, terampil dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakhlak karimah.
c)      Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama yang mandiri, kreatif dan inovatif dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat.

2)    Misi
a)      Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan menjadi idola masyarakat.
b)      Menjadikan lembaga pendidikan yang independen dan sebagai perekat komponen bangsa.

Selain sekolah atau madrasah, pendidikan lain yang dikelola Nahdlatul Ulama adalah pesantren. Dengan segala dinamikanya, keberadaan pesantren telah memberikan sumbangan besar yang tidak ternilai harganya dalam mencerdaskan anak bangsa, menyuburkan tradisi keagamaan yang kuat serta menciptakan generasi yang berakhlak karimah. Pendidikan pesantren dirancang dan dikelola oleh masyarakat, sehingga pesantren memiliki kemandirian yang luar biasa, baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, mengembangkan ilmu (agama) maupun dalam mencetak ulama. Para lulusan pesantren tidak sedikit yang tampil dalam kepemimpinan nasional, baik dalam reputasi kejuangan, keilmuan, kenegaraan maupun kepribadian.
Tradisi keilmuan dan keahlian dalam pesantren ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut :
a)      Adanya tahapan-tahapan materi keilmuan.
b)      Adanya hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan kajian.
c)      Adanya metodologi pengajaran yang bervariasi (pola terpimpin, pola mandiri dan ekspresi).
d)     Adanya jaringan pesantren yang menggambarkan tingkatan pesantren.

Salah satu tugas besar yang menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam pengembangan pendidikan pesantren adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi yang menjadi ciri khasnya dengan ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Hanya dengan demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti keberadaan dan kebermaknaannya dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan.

2.2  Peran NU di Bidang Politik
Hubungan antara Masyumi dengan NU berubah pada 1952, yang mana NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Keputusan untuk keluar dari Masyumi yang diambil oleh NU ini dibarengi dengan penyampaian beberapa amanat kepada pengurus, yakni:
  • Pelaksanaan keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam,
  • Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan dengan perundingan terlebih dahulu dengan Masyumi, dan
  • Keputusan ini dijalankan dalam gubungan yang lebih luas yang berkenan adanya keinginana untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih tinggi, dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam baik yang sudah maupun belum tergabung dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.
Pasca meninggalkan Masyumi dan menjadi sebuah partai politik, NU dihadapkan pada kekurangan tenaga terampil. Untuk mengatasi hal ini, maka direktrutlah beberapa tokoh yang dianggap mumpuni seperti H. Jamaluddin Malik, K.H. Idham Chalid, dan beberapa tokoh lainnya.
Selain itu NU juga mengambil langkah untuk membentuk sebuah fraksi tersendiri di parlemen. Parlemen tersebut beranggotakan 8 orang anggota NU, yakni: K.H.A. Wahab Hasbullah, K.H.M. Ilyas, M. Sholeh Suryaningprojo, M. Ali Prataningkusumo, A.A. Achsin, K.H. Idham Chalid, As. Bamid, Zainul Arifin (yang kemudian digantikan oleh Saefud din Zuhri).
Selanjutnya NU memainkan peranannya dalam membentuk kabinet. Sebagai partai politik yang terbilang baru, NU berusaha memperkuat posisi umat Islam di parlemen dan kabinet.

2.3 Peran NU dalam Mempertahankan NKRI
            Secara historis, NU memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

2.3.1 Peran NU Pada Masa Penjajahan
            Pada awal periode berdirinya, NU lebih mengutamakan pembentukan persatuan di kalangan umat Islam untuk melawan kolonial Belanda. Untuk mempersatukan umat Islam, KH Hasyim Asy’ary melontarkan ajakan untuk bersatu dan mengajukan perilaku moderat. Hal ini diwujudkan dalam sebuah konfederasi Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dibentuk pada tahun 1937.
            Perjuangan NU diarahkan pada dua sasaran, yaitu:
1)      Perjuangan NU diarahkan pada upaya memperkuat akidah dan amal ibadah ala Aswaja disertai pengembangan persepsi keagamaan, terutama dalam masalah sosial, pendidikan, dan ekonomi.
2)      Perjuangan NU diarahkan pada anti-kolonialisme Belanda dengan pola perjuangan yang bersifat kultural untuk mencapai kemerdekaan. Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU bersikap tegas terhadap kebijakan kolonial Belanda yang merugikan agama dan umat Islam.
Pada masa penjajahan Jepang, semua organisasi pergerakan nasional dibekukan dan melarang seluruh aktivitasnya, termasuk NU. Bahkan KH. Hasyim Asy’ary (Rais Akbar NU) dipenjarakan karena menolak penghormatan kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah timur pada waktu tertentu.
Mengantisipasi perilaku Jepang, NU melakukan serangkaian pembenahan. Untuk urusan kedalam diserahkan kepada KH. Nahrowi Thohir, sedangkan urusan keluar dipercayakan kepada KH. A. Wahid Hasyim dan KH. Wahab Hasbullah.
Program perjuangan diarahkan untuk memenuhi tiga sasaran utama, yaitu:
1)      Menyelamatkan akidah Islam dari paham Sintoisme, terutama ajaran Shikerei yang dipaksakan oleh Jepang.
2)      Menanggulangi krisis ekonomi akibat perang Asia Timur bekerjasama dengan seluruh komponen Pergerakan Nasional untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Setelah itu, Jepang menyadari kesalahannya dalam memperlakukan umat Islam dengan tidak adil. Beberapa organisasi Islam kemudian dicairkan pembekuannya.
3)      Untuk menggalang persatuan, pada bulan Oktober 1943, dibentuk federasi antar organisasi Islam yang diberi nama Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Pada bulan Agustus 1944 dibentuk Shumubu (Kantor Urusan Agama) untuk tingkat pusat, dan Shumuka untuk tingkat daerah.

2.3.2 Peran NU Pada Masa Kemerdekaan
            Pada tanggal 7 September 1944, Jepang mengalami kekalahan perang Asia Timur, sehingga pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Untuk itu, dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang di antaranya KH Hasyim Asy’ary dan KH Masykur. Materi pokok dalam diskusi BPUPKI tentang dasar dan bentuk negara. Kemudian dibentuk Panitia Kecil dari NU diwakili oleh KH Wahid Hasyim dengan hasil adanya kesepakatan mengenai dasar negara pada “Ketuhanan” ditambah dengan kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Muncullah ketidaksetujuan tentang Piagam Jakarta bagi masyarakat non-muslim. Demi menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, KH Wahid Hasyim mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kata “Esa” berarti keesaan Tuhan (Tauhid) yang merupakan semangat dari QS. Al-Ikhlas/112 yang hanya ada dalam agama Islam dan diterima oleh seluruh tokoh yang hadir.

2.3.3 Peran NU Pada Masa Mempertahankan Kemerdekaan

1.      Mengeluarkan Resolusi Jihad

Kegiatan politik NU semakin kental pada masa kemerdekaan. Hal ini ditunjukkan pada Muktamar NU di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945. Dalam muktamar tersebut, NU mengeluarkan “Resolusi Jihad” yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah Perang Suci (jihad).
Resolusi ini berarti bahwa penolakan terhadap kembalinya kekuatan kolonial yang mengakui kekuasaan suatu pemerintah republik baru sesuai dengan Islam. Resolusi jihad ini juga terbukti dengan penentangan NU terhadap beberapa perjanjian dan konsesi diplomatic yang diadakan pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949).
2.      Untuk menghargai jasa para santri dalam membela dan mempertahankan negara, Presiden Jokowi menetapkan tanggal pencetusan Resolusi Jihad (22 Oktober) sebagai Hari Santri Nasional (HSN) sejak tahun 2015.

2.3.4 Peran NU Pada Masa Orde Lama

1.      NU menerima Konsep Demokrasi Terpimpin

NU menerima konsep Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh Soekarno tidak lain didasarkan pada pertimbangan fiqhiyah  yang artinya “Jika terjadi benturan antara dua hal yang sama buruk dipertimbangkan yang lebih besar bahayanya dan melaksanakan yang paling kecil akibat buruknya”. Selain itu, NU juga berpegang pada dalil yang menyebutkan bahwa jika kemampuan hanya dapat menghasilkan sebagian, maka yang sebagian itu tidak boleh ditinggalkan, harus tetap dilaksanakan.

2.      NU menuntut pembubaran PKI

Pada tanggal 30 September 1965, keadaan Jakarta sedang genting dengan adanya gerakan atau pemberontakan terhadap pemerintah RI oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tengah situasi yang genting ini, NU pada tanggal 2 Oktober 1965 menyatakan kontra terhadap gerakan revolusi yang dilakukan oleh PKI. Tanggal 5 Oktober, NU beserta ormas-ormas lainnya menuntut adanya pembubaran PKI dan menyerukan agar umat Islam membantu ABRI dalam menumpas Gerakan 30 September 1965. Hingga akhirnya pemerintah menyetujui pelarangan terhadap keberadaan partai komunis di Indonesia.

 

2.3.5 Peran NU Pada Masa Orde Baru
1)      Kebijakan Penyederhanaan Partai
Pada tahun 1973, partai-partai politik bergabung dalam dua wadah fusi. Partai Islam disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan anggotanya yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Wadah lainnya berisi PNI, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Parkindo, Partai Katolik, dan Partai Murba, wadah kedua ini dinamakan Partai Demokrasi Indonesia.          
Ketika berada dalam PPP, NU mendapat kehormatan layaknya di Masyumi. Semangat persaudaraan dalam tubuh PPP awalnya sangat kuat, namun pada hal itu tidak berlangsung lama, sebab ketika adanya pengajuan RUU Perkawinan, K.H. Bishri Sansuri sebagai wakil NU menolak adanya RUU tersebut. Menurut Bishri, RUU tersebut berisi pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan dalam Islam.
K.H. Bishri Sansuri memiliki wibawa yang sangat besar dan sifatnya cenderung keras, sehingga ketika terjadi pertikaian di tubuh PPP, ia dapat dengan segera mengendalikan para pimpinan PPP. Sepeninggal K.H. Bishri Sansuri, anggota-anggota NU seringkali mengalami pertikaian dengan anggota dari partai lainnya.

2) NU kembali ke Khittah 1926
Pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tanggal 6-11 Juni 1979, NU menyatakan akan kembali menjadi jam’iyah seperti tahun 1926. Keputusan ini diambil NU tidak lain karena menganggap bahwa pada saat itu NU sudah memiliki wadah dalam berpolitik yakni PPP, sehingga NU dapat kembali menjadi organisasi keagamaan lagi.
Selain itu perjalanan politik NU yang seringkali mengalami kekecewaan membuat organisasi ini semakin terdorong untuk kembali ke Khittah 1926. Meski memutuskan untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, tetapi anggota-anggota NU dapat ikut serta dalam politik secara perseorangan.

3)Asas Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final bagi bangsa Indonesia
Dengan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila oleh pemerintah orde baru, NU memberikan dukungan penuh. Buktinya pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984), NU membuat keputusan bahwa “Nahdlatul Ulama berasaskan Pancasila.  Nahdlatul Ulama  sebagai  Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Ahlus sunnah wal jama’ah mengikuti salah satu dari empat mahzab yaitu: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali.”

2.3.6        Peran NU Pada Masa Reformasi
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal  dengan Refleksi Reformasi.

Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
1.      Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
2.      Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
3.      Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.      Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak.
5.      Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
6.      TNI harus berdiri di atas semua golongan.
7.      Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok tertentu.
8.      Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH. Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :
1.              Menghimbau  kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
2.              Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan  sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
3.              Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.
4.              Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang.
5.              Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6.              Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan.
7.              Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
8.              Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa

Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda. Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.

2.3.7 Peran NU Pasca Reformasi
Dengan tidak lagi menjadi parpol, NU sebagai organisasi kemasyarakatan bisa lebih leluasa mengembangkan diri, memfokuskan pada visi dan misinya di bidang-bidang sosial, kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan. Makin banyak tantangan yang dihadapi, massa NU yang banyak bermukim di pedesaan terutama di Jatim dan sebagian Jawa Tengah serta beberapa daerah mulai intensif mendapatkan perhatian dari pimpinan NU. Sebagian besar nahdliyin di pedesaan tak lepas dari belitan kemiskinan, namun organisasi-organisasi otonom NU melakukan langkah-langkah lebih konkrit untuk berupaya mengatasi kemiskinan, karena bila dibiarkan terus-menerus lama-kelamaan akan menggerus massa NU.
Dikhawatirkan akan banyak umat nahdliyn semakin renggang hubungan silaturahim, fungsional dan strukturnya dengan NU. Organisasi-organisasi otonom NU adalah Muslimat NU, GP Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU, juga kalangan mahasiswanya yang tergabung dalam PMII. Organisasi-organisasi otonom itu sebenarnya merupakan potensi cukup besar yang bila dikelola maksimal akan menjadikan pohon NU lebih subur, rindang dan akarnya juga semakin kuat.    
Angkatan Muda NU semakin banyak yang menjadi intelektual dalam berbagai bidang, bahkan mulai ada yang sudah diperhitungkan dalam forum nasional maupun internasional. Pada 1985 mereka mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU. Selain itu, sebetulnya NU memiliki kelebihan dari warganya kalangan bawah yang menjadi wiraswasta meskipun sebagian besar masih dalam skala usaha kecil. Tapi di sini sudah ada modal dasar yakni jiwa wiraswasta mereka. Bila mereka terus dibina oleh NU dengan dukungan pemerintah, mereka tidak akan sulit untuk ditingkatkan menjadi wiraswasta tingkat menengah dan kemudian tinggi.
Misi NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana mengantisipasi gerakan-gerakan radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar Aswaja untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama.
Pegangan yang dipakai NU sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) yang disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan NKRI. Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila dalam keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya adalah aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah satu-satunya organisasi Islam di Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara akidah NU menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme baik radikal maupun liberal.


3.1  Kesimpulan
Nahdlatul Ulama  mengalami berbagai liku-liku dalam perjalanan panjang sejarahnya. Peran dan perjuangan NU sebagai organisasi keagamaan dan partai politik memang sangat signifikan. Sejak masa pendiriannya, NU telah menunjukkan kiprahnya agar terwujud masyarakat Indonesia yang lebih berkembang.
NU selalu mengambil peran dalam setiap periode sejarah di Indonesia mulai dari masa perjuangan menuju kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan bahkan hingga saat ini. Pengaruhnya pun sangat luas dan berhasil menciptakan gagasan-gagasan yang kelak menjadi dasar bagi perjalanan NU di masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Dr. KH Hamzah, Muchotob, MM., dkk. 2018. PENGANTAR STUDI ASWAJA AN-NAHDLIYAH. Wonosobo: UNSIQ PRESS
Amin, M. Masyhur. 1996. NU & Ijtihad Politik Kenegaraannya. Yogyakarta: Al-Amin Press.
Fealy, Greg. 1998 Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS.
Haidar, M. Ali. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sitompul, Einar M. 1989. Nahdlatul Ulama dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.