NAHDLOTUL ‘ULAMA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Secara historis, NU memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Jika dirunut maka akan didapati bagaimana peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun secara akademis, kontribusi NU terhadap bangsa dan negara tidak sepenuhnya tertulis pada sejarah ‘resmi’ Negara, bahkan sering pula NU disalahpahami sebagai organisasi jumud fan tradisionalis, pragmatis, dan oportunis.
Labeling seperti
ini memang disandarkan atas realitas bahwa NU sebagai organisasi pernah
melakukan tindakan politik untuk membela Soekarno dalam memutuskan konsep
Nasionalisme Agama dan Komunis (Nasakom), yang saat itu dianggap sebagai sebuah
konsepsi yang salah oleh organisasi sosial keagamaan lainnya, sebab menempatkan
agama dan komunis dalam satu bangunan konsep. Selain itu, NU juga pernah
mengangkat Soekarno sebagai Waliy al-amri
dharury bi asy-syaukah, yang dianggap oleh lainnya sebagai langkah
opportunism politik.
Terlepas
dari berbagai macam symbol yang disematkan kepada NU, tetapi yang jelas bahwa
NU telah mewarnai sejarah pergerakan bangsa Indonesia semenjak awal kemerdekaan
Indonesia hingga dekade akhir-akhir ini. Dan salah satu aspek penting dalam
kontribusi NU tersebut adalah bagaimana NU menyatakan final terhadapa konsepsi
empat pilar Negara Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika. Bagi NU, empat pilar bangsa tersebut merupakan ijtihad politik
bersifat final bagi bangsa Indonesia.
2.1 Peran NU di Bidang Pendidikan
Nahdlatul
Ulama memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga
kunci dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya
merupakan komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk
melakukan tanggung jawab dan harmonisasi. Fungsi pendidikan bagi Nahdlatul
Ulama adalah, satu, untuk mencerdaskan manusia dan bangsa sehingga menjadi
terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia, dua, untuk memberikan wawasan yang
plural sehingga mampu menjadi penopang pembangunan bangsa.
Gerakan
pendidikan Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul Ulama
sebagai organisasi secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan Nahdlatul
Ulama dimulai dari berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi penyelenggara
pendidikan yang lahir sebagai produk pemikiran yang dihasilkan oleh forum
diskusi yang disebut Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab
Hasbullah. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi
mutu pendidikan sekolah atau madrasah yang teratur. Dalam mengusahakan
terciptanya pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama memandang perlunya
proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur.Sekolah atau madrasah
menjadi salah satu program permanen Nahdlatul Ulama, disamping jalur non formal
seperti pesantren.
Sekolah atau madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental, percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan, Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah atau madrasah dan segala bidang kegiatannya.
Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929 M atau bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi lebih baik. Sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi yang dimaksud adalah :
Sekolah atau madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental, percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan, Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah atau madrasah dan segala bidang kegiatannya.
Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929 M atau bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi lebih baik. Sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi yang dimaksud adalah :
1)
Visi
a)
Terciptanya manusia unggul yang mampu berkompetisi dan sains
dan teknologi serta
berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b)
Tersedianya kader-kader bangsa yang cakap, terampil dan
bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berakhlak karimah.
c)
Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama yang mandiri, kreatif
dan inovatif dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat.
2) Misi
a)
Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan
menjadi idola masyarakat.
b)
Menjadikan lembaga pendidikan yang independen dan sebagai perekat
komponen bangsa.
Selain
sekolah atau madrasah, pendidikan lain yang dikelola Nahdlatul Ulama adalah
pesantren. Dengan segala dinamikanya, keberadaan pesantren telah memberikan
sumbangan besar yang tidak ternilai harganya dalam mencerdaskan anak bangsa,
menyuburkan tradisi keagamaan yang kuat serta menciptakan generasi yang
berakhlak karimah. Pendidikan pesantren dirancang dan dikelola oleh masyarakat,
sehingga pesantren memiliki kemandirian yang luar biasa, baik dalam memenuhi
kebutuhannya sendiri, mengembangkan ilmu (agama) maupun dalam mencetak ulama.
Para lulusan pesantren tidak sedikit yang tampil dalam kepemimpinan nasional,
baik dalam reputasi kejuangan, keilmuan, kenegaraan maupun kepribadian.
Tradisi
keilmuan dan keahlian dalam pesantren ditandai oleh beberapa hal sebagai
berikut :
a)
Adanya tahapan-tahapan materi keilmuan.
b)
Adanya hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan kajian.
c)
Adanya metodologi pengajaran yang bervariasi (pola terpimpin,
pola mandiri
dan ekspresi).
d)
Adanya jaringan pesantren yang menggambarkan tingkatan pesantren.
Salah
satu tugas besar yang menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam pengembangan
pendidikan pesantren adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi yang menjadi
ciri khasnya dengan ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Hanya
dengan demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti keberadaan dan
kebermaknaannya dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan.
2.2 Peran NU di Bidang Politik
Hubungan antara Masyumi dengan NU berubah pada
1952, yang mana NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai
politik sendiri. Keputusan untuk keluar dari Masyumi yang diambil oleh NU ini
dibarengi dengan penyampaian beberapa amanat kepada pengurus, yakni:
- Pelaksanaan keputusan tersebut agar jangan
sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam,
- Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan
dengan perundingan terlebih dahulu dengan Masyumi, dan
- Keputusan ini dijalankan dalam gubungan yang
lebih luas yang berkenan adanya keinginana untuk membentuk dewan pimpinan
umat Islam yang nilainya lebih tinggi, dimana partai-partai dan
organisasi-organisasi Islam baik yang sudah maupun belum tergabung dalam
Masyumi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.
Pasca meninggalkan Masyumi dan menjadi sebuah
partai politik, NU dihadapkan pada kekurangan tenaga terampil. Untuk mengatasi
hal ini, maka direktrutlah beberapa tokoh yang dianggap mumpuni seperti H.
Jamaluddin Malik, K.H. Idham Chalid, dan beberapa tokoh lainnya.
Selain itu NU juga mengambil langkah untuk
membentuk sebuah fraksi tersendiri di parlemen. Parlemen tersebut beranggotakan
8 orang anggota NU, yakni: K.H.A. Wahab Hasbullah, K.H.M. Ilyas, M. Sholeh
Suryaningprojo, M. Ali Prataningkusumo, A.A. Achsin, K.H. Idham Chalid, As.
Bamid, Zainul Arifin (yang kemudian digantikan oleh Saefud din Zuhri).
Selanjutnya NU memainkan peranannya dalam membentuk
kabinet. Sebagai partai politik yang terbilang baru, NU berusaha memperkuat
posisi umat Islam di parlemen dan kabinet.
2.3 Peran NU dalam Mempertahankan NKRI
Secara
historis, NU memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia.
2.3.1
Peran NU Pada Masa Penjajahan
Pada awal periode
berdirinya, NU lebih mengutamakan pembentukan persatuan di kalangan umat Islam
untuk melawan kolonial Belanda. Untuk mempersatukan umat Islam, KH Hasyim
Asy’ary melontarkan ajakan untuk bersatu dan mengajukan perilaku moderat. Hal
ini diwujudkan dalam sebuah konfederasi Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang
dibentuk pada tahun 1937.
Perjuangan
NU diarahkan pada dua sasaran, yaitu:
1)
Perjuangan NU diarahkan pada upaya memperkuat akidah
dan amal ibadah ala Aswaja disertai pengembangan persepsi keagamaan, terutama
dalam masalah sosial, pendidikan, dan ekonomi.
2)
Perjuangan NU diarahkan pada anti-kolonialisme Belanda
dengan pola perjuangan yang bersifat kultural untuk mencapai kemerdekaan.
Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU bersikap tegas terhadap kebijakan
kolonial Belanda yang merugikan agama dan umat Islam.
Pada masa penjajahan Jepang, semua organisasi
pergerakan nasional dibekukan dan melarang seluruh aktivitasnya, termasuk NU.
Bahkan KH. Hasyim Asy’ary (Rais Akbar NU) dipenjarakan karena menolak
penghormatan kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah timur pada
waktu tertentu.
Mengantisipasi perilaku Jepang, NU
melakukan serangkaian pembenahan. Untuk urusan kedalam diserahkan kepada KH.
Nahrowi Thohir, sedangkan urusan keluar dipercayakan kepada KH. A. Wahid Hasyim
dan KH. Wahab Hasbullah.
Program perjuangan diarahkan untuk
memenuhi tiga sasaran utama, yaitu:
1)
Menyelamatkan akidah Islam dari paham Sintoisme, terutama ajaran Shikerei yang dipaksakan oleh Jepang.
2)
Menanggulangi krisis ekonomi akibat perang Asia Timur
bekerjasama dengan seluruh komponen Pergerakan Nasional untuk melepaskan diri
dari segala bentuk penjajahan. Setelah itu, Jepang menyadari kesalahannya dalam
memperlakukan umat Islam dengan tidak adil. Beberapa organisasi Islam kemudian
dicairkan pembekuannya.
3)
Untuk menggalang persatuan, pada bulan Oktober 1943,
dibentuk federasi antar organisasi Islam yang diberi nama Majlis Syuro Muslimin
Indonesia (MASYUMI). Pada bulan Agustus 1944 dibentuk Shumubu (Kantor Urusan Agama) untuk tingkat pusat, dan Shumuka untuk tingkat daerah.
2.3.2
Peran NU Pada Masa Kemerdekaan
Pada
tanggal 7 September 1944, Jepang mengalami kekalahan perang Asia Timur,
sehingga pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Untuk
itu, dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang beranggotakan 62 orang di antaranya KH Hasyim Asy’ary dan KH Masykur.
Materi pokok dalam diskusi BPUPKI tentang dasar dan bentuk negara. Kemudian
dibentuk Panitia Kecil dari NU diwakili oleh KH Wahid Hasyim dengan hasil
adanya kesepakatan mengenai dasar negara pada “Ketuhanan” ditambah dengan
kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” yang
dikenal dengan Piagam Jakarta. Muncullah ketidaksetujuan tentang Piagam Jakarta
bagi masyarakat non-muslim. Demi menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, KH Wahid
Hasyim mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Kata “Esa” berarti keesaan Tuhan (Tauhid) yang merupakan semangat dari
QS. Al-Ikhlas/112 yang hanya ada dalam agama Islam dan diterima oleh seluruh
tokoh yang hadir.
2.3.3 Peran
NU Pada Masa Mempertahankan Kemerdekaan
1.
Mengeluarkan Resolusi Jihad
Kegiatan politik NU
semakin kental pada masa kemerdekaan. Hal ini ditunjukkan pada Muktamar NU di
Surabaya tanggal 22 Oktober 1945. Dalam muktamar tersebut, NU mengeluarkan
“Resolusi Jihad” yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah Perang
Suci (jihad).
Resolusi ini berarti bahwa
penolakan terhadap kembalinya kekuatan kolonial yang mengakui kekuasaan suatu
pemerintah republik baru sesuai dengan Islam. Resolusi jihad ini juga terbukti
dengan penentangan NU terhadap beberapa perjanjian dan konsesi diplomatic yang
diadakan pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946),
Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949).
2.
Untuk menghargai jasa para santri dalam membela dan
mempertahankan negara, Presiden Jokowi menetapkan tanggal pencetusan Resolusi
Jihad (22 Oktober) sebagai Hari Santri Nasional (HSN) sejak tahun 2015.
2.3.4
Peran NU Pada Masa Orde Lama
1. NU menerima
Konsep Demokrasi Terpimpin
NU menerima konsep
Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh Soekarno tidak lain didasarkan pada
pertimbangan fiqhiyah yang artinya
“Jika terjadi benturan antara dua hal yang sama buruk dipertimbangkan yang
lebih besar bahayanya dan melaksanakan yang paling kecil akibat buruknya”.
Selain itu, NU juga berpegang pada dalil yang menyebutkan bahwa jika kemampuan
hanya dapat menghasilkan sebagian, maka yang sebagian itu tidak boleh
ditinggalkan, harus tetap dilaksanakan.
2.
NU menuntut pembubaran PKI
Pada tanggal 30 September
1965, keadaan Jakarta sedang genting dengan adanya gerakan atau pemberontakan
terhadap pemerintah RI oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tengah situasi
yang genting ini, NU pada tanggal 2 Oktober 1965 menyatakan kontra terhadap
gerakan revolusi yang dilakukan oleh PKI. Tanggal 5 Oktober, NU beserta
ormas-ormas lainnya menuntut adanya pembubaran PKI dan menyerukan agar umat
Islam membantu ABRI dalam menumpas Gerakan 30 September 1965. Hingga akhirnya
pemerintah menyetujui pelarangan terhadap keberadaan partai komunis di
Indonesia.
2.3.5
Peran NU Pada Masa Orde Baru
1)
Kebijakan Penyederhanaan Partai
Pada tahun 1973, partai-partai politik bergabung
dalam dua wadah fusi. Partai Islam disatukan dalam wadah Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dengan anggotanya yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Wadah
lainnya berisi PNI, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Parkindo,
Partai Katolik, dan Partai Murba, wadah kedua ini dinamakan Partai Demokrasi
Indonesia.
Ketika berada dalam PPP, NU mendapat kehormatan
layaknya di Masyumi. Semangat persaudaraan dalam tubuh PPP awalnya sangat kuat,
namun pada hal itu tidak berlangsung lama, sebab ketika adanya pengajuan RUU
Perkawinan, K.H. Bishri Sansuri sebagai wakil NU menolak adanya RUU tersebut.
Menurut Bishri, RUU tersebut berisi pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum
perkawinan dalam Islam.
K.H. Bishri Sansuri memiliki wibawa yang sangat
besar dan sifatnya cenderung keras, sehingga ketika terjadi pertikaian di tubuh
PPP, ia dapat dengan segera mengendalikan para pimpinan PPP. Sepeninggal K.H.
Bishri Sansuri, anggota-anggota NU seringkali mengalami pertikaian dengan
anggota dari partai lainnya.
2) NU kembali ke Khittah
1926
Pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tanggal 6-11 Juni
1979, NU menyatakan akan kembali menjadi jam’iyah seperti
tahun 1926. Keputusan ini diambil NU tidak lain karena menganggap bahwa pada
saat itu NU sudah memiliki wadah dalam berpolitik yakni PPP, sehingga NU dapat
kembali menjadi organisasi keagamaan lagi.
Selain itu perjalanan politik NU yang seringkali
mengalami kekecewaan membuat organisasi ini semakin terdorong untuk kembali ke
Khittah 1926. Meski memutuskan untuk kembali menjadi organisasi keagamaan,
tetapi anggota-anggota NU dapat ikut serta dalam politik secara perseorangan.
3)Asas Pancasila dan NKRI
sebagai bentuk final bagi bangsa Indonesia
Dengan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila oleh pemerintah orde baru, NU
memberikan dukungan penuh. Buktinya pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984), NU
membuat keputusan bahwa “Nahdlatul Ulama berasaskan
Pancasila. Nahdlatul Ulama sebagai
Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Ahlus sunnah wal jama’ah mengikuti salah satu dari
empat mahzab yaitu: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali.”
2.3.6
Peran NU
Pada Masa Reformasi
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya
kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama
untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul
Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul
Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas
politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama
untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama
yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih
sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah,
setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan
untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang
dikenal dengan Refleksi Reformasi.
Refleksi
reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
1.
Nahdlatul Ulama
memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea
rah yang lebih tepat.
2.
Rekonsiliasi
nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah
wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan sistem
kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
3.
Reformasi jangan
sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah
tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.
Penyampaian
berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh
kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan
kehendak.
5.
Kasus-kasus
pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
6.
TNI harus
berdiri di atas semua golongan.
7.
Pemberantasan
KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok
tertentu.
8.
Praktik
monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik
ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali
mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti
secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu
dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas
Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan
Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang
merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak
sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan
reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah
pertemuan dengan mengundang KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri,
Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini
dipilih di Ciganjur (rumah KH. Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan KH.
Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang
menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut
membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini
kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur,
yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :
1.
Menghimbau
kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
2.
Mengembalikan
kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan sebagai
penjelmaan aspirasi rakyat.
3.
Mengembalikan
kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan
bangsa.
4.
Pelaksanaan
reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang.
5.
Segera
dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6.
Penghapusan dwi
fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini
dibacakan.
7.
Menghapus dan
mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
8.
Mendesak untuk
segera dibubarkannya PAM Swakarsa
Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara
yang damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di
berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon
kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang
sedang melanda. Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama
diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional.
Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan
mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.
2.3.7 Peran NU Pasca Reformasi
Dengan
tidak lagi menjadi parpol, NU sebagai organisasi kemasyarakatan bisa lebih
leluasa mengembangkan diri, memfokuskan pada visi dan misinya di bidang-bidang
sosial, kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan. Makin banyak tantangan yang
dihadapi, massa NU yang banyak bermukim di pedesaan terutama di Jatim dan
sebagian Jawa Tengah serta beberapa daerah mulai intensif mendapatkan perhatian
dari pimpinan NU. Sebagian besar nahdliyin di pedesaan tak lepas dari belitan
kemiskinan, namun organisasi-organisasi otonom NU melakukan langkah-langkah
lebih konkrit untuk berupaya mengatasi kemiskinan, karena bila dibiarkan
terus-menerus lama-kelamaan akan menggerus massa NU.
Dikhawatirkan
akan banyak umat nahdliyn semakin renggang hubungan silaturahim, fungsional dan
strukturnya dengan NU. Organisasi-organisasi otonom NU adalah Muslimat NU, GP
Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU, juga kalangan mahasiswanya yang tergabung dalam
PMII. Organisasi-organisasi otonom itu sebenarnya merupakan potensi cukup besar
yang bila dikelola maksimal akan menjadikan pohon NU lebih subur, rindang dan
akarnya juga semakin kuat.
Angkatan Muda NU semakin banyak yang menjadi
intelektual dalam berbagai bidang, bahkan mulai ada yang sudah diperhitungkan
dalam forum nasional maupun internasional. Pada 1985 mereka mendirikan Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU. Selain itu,
sebetulnya NU memiliki kelebihan dari warganya kalangan bawah yang menjadi
wiraswasta meskipun sebagian besar masih dalam skala usaha kecil. Tapi di sini
sudah ada modal dasar yakni jiwa wiraswasta mereka. Bila mereka terus dibina
oleh NU dengan dukungan pemerintah, mereka tidak akan sulit untuk ditingkatkan
menjadi wiraswasta tingkat menengah dan kemudian tinggi.
Misi NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana
mengantisipasi gerakan-gerakan radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang
berasal dari luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU
membentuk Laskar Aswaja untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis
agama.
Pegangan yang dipakai NU
sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) yang
disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan NKRI.
Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila dalam
keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya adalah
aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan
sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah satu-satunya
organisasi Islam di Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara akidah NU
menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme baik
radikal maupun liberal.
3.1 Kesimpulan
Nahdlatul Ulama mengalami
berbagai liku-liku dalam perjalanan panjang sejarahnya. Peran dan perjuangan NU
sebagai organisasi keagamaan dan partai politik memang sangat signifikan. Sejak
masa pendiriannya, NU telah menunjukkan kiprahnya agar terwujud masyarakat
Indonesia yang lebih berkembang.
NU selalu mengambil peran dalam setiap periode sejarah di
Indonesia mulai dari masa perjuangan menuju kemerdekaan, pada masa kemerdekaan,
orde lama, orde baru, dan bahkan hingga saat ini. Pengaruhnya pun sangat luas
dan berhasil menciptakan gagasan-gagasan yang kelak menjadi dasar bagi
perjalanan NU di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. KH Hamzah,
Muchotob, MM., dkk. 2018. PENGANTAR STUDI
ASWAJA AN-NAHDLIYAH. Wonosobo: UNSIQ PRESS
Amin, M.
Masyhur. 1996. NU & Ijtihad Politik Kenegaraannya.
Yogyakarta: Al-Amin Press.
Fealy,
Greg. 1998 Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967.
Yogyakarta: LKiS.
Haidar,
M. Ali. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia:
Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sitompul,
Einar M. 1989. Nahdlatul Ulama dan Pancasila.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tidak ada komentar: