Melawan Lupa; Ki Hadjar Dewantara, Berjuang dengan Akal Budi
Ki Hadjar Dewantara, seorang pemikir jenius, tekun, gigih, imajinatif, dan visioner yang mampu berpikir serta berbuat jauh mendahului sesuatu yang umum berlaku pada zamannya. Selain itu, Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan nasional yang mendedikasikan dirinya berkecimpung dalam dunia edukasi yang dikenal dengan semangat nasionalisme dan anti-kolonial melalui tulisannya yang patriotik dan filosofi edukasi serta pendiri Nationaal Onderwijs Institut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) yang sangat menekankan rasa kebangsaan (nasionalisme) kepada anak didik agar mencintai bangsa dan tanah air untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Bagaikan sang rama dan dewi cinta di dalam taman pustawan. Sepasang sejoli Dewantara melepas lelah dalam kesempatan emas dalam rutinitas kehidupan duniawi. Kenangan antara pribumi dengan intelektual ilmu duniawi haruslah menyelami kesibukan perguruan Tamansiswa yang telah menjadi jiwa pribumi bagaikan bunga dan tangkai yang tidak terpisahkan. Ki Hajar Dewantara, sesosok pahlawan nasional pendidikan yang telah rela berkorban jiwa raga demi membangun dan menjiwai Tamansiswa bersama tokoh-tokoh lainnya.
Ki Hadjar Dewantara yang lahir dalam kaum ningrat dengan sebutan nama, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ki Hadjar Dewantara membuka mata dan menampakkan kaki pertama kali di tanah tercinta, Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 yang terlahir dalam atmosfer keluarga kraton Yogyakarta. Ketika usia berkata 40 tahun, namanya pun berganti berdasarkan hitungan Tahun Caka menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, nama awalnya tidak dipergunakan kembali layaknya lenyap ditelan bumi demi kebebasan kehidupan bermasyarakat secara lahir batin.
Suatu ketika saat sedang berada di halaman rumah, datanglah Ki Cokro Terjo, Nyi Hajar, Ki Prana Wirejo, Ki Hadjar Dewantara , dan Sutapono Poyo berkumpul dan bercanda tawa bersama menceritakan masa juang mereka. Tetapi ini merupakan pertemuan terakhir pada Kongres Tamansiswa 1956. Saat itu, Ki Hajar Dewantara dapat menyampaikan petuahnya berisi penghapusan gelar kebangsawanan seperti Raden Mas dan Raden Ayu menjadi Ki bagi laki – laki, Nyi pada perempuan yang sudah menikah dan Ni kepada perempuan yang belum menikah sehingga terbentuk persamaan derajat tanpa ada perbedaan pada setiap masyarakat. Perkumpulan ini merupakan Tradisi keluarga Tamansiswa yang adanya diskriminasi tetapi mengakui dalam suatu hal yang menjadikan bijaksana. Tidak ada hukum tertulis, maka kebijaksanaan dinamakan keluarga.
Waktu terus bergulir hingga pada tanggal 25 Desember 1912, Ki Hadjar Dewantara bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang dinamakan TIGA SERANGKAI mendirikan Indische Partij (partai politik pertama beraliran nasionalisme Indonesia) untuk mencapai Indonesia merdeka. Sebelumnya, ada himpunan – himpunan partai politik di Sumatra, Jawa, Sulawesi dan di seluruh Indonesia yang mana syariat Islam belum berani berubah haluan menuju partai politik.
Berbagai cara dan taktik untuk lolos dan memperoleh status badan hukum kepada pemerintah penjajah,kolonial Belanda selalu gagal terlebih hal ini dilakukan pada tanggal 11 Maret 1913 melalui Gubernur Jendral Idenburg dengan menolak pendaftaran mereka dengan suatu alasan yang beranggapan bahwa Indische Partij dapat membangkitkan kobaran semangat nasionalisme rakyat dan merangkul kesatuan masyarakat multicultural Indonesia dalam melawan penjajah.
Demi mendirikan Perguruan Nasional, Ki Hadjar Dewantara meninggalkan Andi Karmo dan mendapat bantuan dari tokoh – tokoh nasional seperti Alm. Sutatmo Surosumo dan Alm. Suryoputro dan lain – lain ikut menentang kolonel Belanda. Masalah perpajakan menjadikan adanya pelelangan bangku dan barang namun musuh mulai garuk – garuk kepala karena Tamansiswa masih berjalan.
Karena sebuah penolakan dari pemerintah penjajah, maka terbentuklah Komite Bumipoetra pada bulan November 1913 sekaligus sebagai rival komite dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra dengan sigap langsung melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya dalam dana pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) berisi hinaan terhadap Belanda berpesta pora menyambut kemerdekaannya di negara Indonesia karena dianggap tidak beretika. Selain itu, ada tulisan berjudul Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun"
Akibat polesan pena dari kedua jari tangannya, ia pun dibuang ke Pulau Bangka dalam istilah hukuman Belanda dinamakan hukuman internering (hukum buang), sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jendral Idenburg tanpa proses pengadilan.
Ketidakadilan yang dialami oleh Ki Hadjar Dewantara membuat rekan seperjuangannya, Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo berani menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi yang dianggap pihak Belanda sebagai hasutan untuk melawan pemerintah Belanda. Akhirnya mereka kena getah atas tindakannya sendiri sehingga dijatuhkan hukuman internering yang mana Douwes Dekker dibuang di Kupang sedangkan Cipto Mangoenkoesoemo di pulau Banda.
Dengan intelektual dan kecerdikan Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo, mereka dibuang ke Negeri Belanda sejak bulan Agustus 1913sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman sekaligus mempelajari banyak hal dari pada didaerah terpencil.
Pada tahun 1918, Ki Hadjar Dewantara ke tanah air dan berfokus pada dunia pendidikan sebagai alat juang meraih kemerdekaan. Sebelumnya, dia pernah mendalami masalah pendidikan dan pengajaran dan berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Tidak lama kemudian, Ki Hadjar Dewantara bersama dua rekannya mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922 yang sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan (nasionalisme) kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Berbagai rintangan demi rintangan telah mereka lalui demi Taman Siswa ibarat semakin tinggi pohonnya anginpun semakin kencang untuk merobohkannya. Maka, dikeluarkannya Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932 sebagai bentuk ketidaksetujuan pemerintah kolonial. Akan tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, ordonansi itu dicabut.
Ki Hadjar Dewantara tetap memainkan pena di atas kertas polos nan suci ditengah dunia pendidikan di Tamansiswa yang bertemakan nuansa pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan bukan politik. Melalui beratusan tulisannya itulah dia berhasil meletakkan pondasi pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, Ki Hadjar Dewantara membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) sekaligus sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur dalam tahun 1943.
Bukan Ki Hadjar Dewantara namanya jika tidak berjuang demi bangsa. Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara pernah mendapat jabatan dalam pemerintahan Indonesia sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama, anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan anggota Parlemen.
Nama Ki Hadjar Dewantara diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) dengan tanggal 2 Mei sebagai hari Pendidikan Nasional, serta sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 18 November 1959. Bentuk apresiasi masyarakat Indonesia dengan adanya pemberian penghargaan lain berupa gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada kepada Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 18 Desember 1956.
Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta. Pada saat itu, ribuan telegram belasungkawa dari segala golongan dan lapisan masyarakat membanjir, membuktikan keagungan dan kebaikannya didalam hati rakyat. Maka dari itu, didirikannya Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat banyak benda atau karya Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa ada perbedaan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai Pancasila.
Hari lahir Ki Hadjar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ada sebuah ajaran Ki Hadjar Dewantara yang terkenal ialah Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan memberi teladan dan contoh yang baik), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah menciptakan peluang, prakarsa, dan ide), Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan dan arahan). Ajaran ini juga dijadikan sebagai lambang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebagai bentuk penghormatan kepada Ki Hadjar Dewantara yang dikenal dengan Tut Wuri Handayani.
Bagaikan sang rama dan dewi cinta di dalam taman pustawan. Sepasang sejoli Dewantara melepas lelah dalam kesempatan emas dalam rutinitas kehidupan duniawi. Kenangan antara pribumi dengan intelektual ilmu duniawi haruslah menyelami kesibukan perguruan Tamansiswa yang telah menjadi jiwa pribumi bagaikan bunga dan tangkai yang tidak terpisahkan. Ki Hajar Dewantara, sesosok pahlawan nasional pendidikan yang telah rela berkorban jiwa raga demi membangun dan menjiwai Tamansiswa bersama tokoh-tokoh lainnya.
Ki Hadjar Dewantara yang lahir dalam kaum ningrat dengan sebutan nama, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ki Hadjar Dewantara membuka mata dan menampakkan kaki pertama kali di tanah tercinta, Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 yang terlahir dalam atmosfer keluarga kraton Yogyakarta. Ketika usia berkata 40 tahun, namanya pun berganti berdasarkan hitungan Tahun Caka menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, nama awalnya tidak dipergunakan kembali layaknya lenyap ditelan bumi demi kebebasan kehidupan bermasyarakat secara lahir batin.
Suatu ketika saat sedang berada di halaman rumah, datanglah Ki Cokro Terjo, Nyi Hajar, Ki Prana Wirejo, Ki Hadjar Dewantara , dan Sutapono Poyo berkumpul dan bercanda tawa bersama menceritakan masa juang mereka. Tetapi ini merupakan pertemuan terakhir pada Kongres Tamansiswa 1956. Saat itu, Ki Hajar Dewantara dapat menyampaikan petuahnya berisi penghapusan gelar kebangsawanan seperti Raden Mas dan Raden Ayu menjadi Ki bagi laki – laki, Nyi pada perempuan yang sudah menikah dan Ni kepada perempuan yang belum menikah sehingga terbentuk persamaan derajat tanpa ada perbedaan pada setiap masyarakat. Perkumpulan ini merupakan Tradisi keluarga Tamansiswa yang adanya diskriminasi tetapi mengakui dalam suatu hal yang menjadikan bijaksana. Tidak ada hukum tertulis, maka kebijaksanaan dinamakan keluarga.
Waktu terus bergulir hingga pada tanggal 25 Desember 1912, Ki Hadjar Dewantara bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang dinamakan TIGA SERANGKAI mendirikan Indische Partij (partai politik pertama beraliran nasionalisme Indonesia) untuk mencapai Indonesia merdeka. Sebelumnya, ada himpunan – himpunan partai politik di Sumatra, Jawa, Sulawesi dan di seluruh Indonesia yang mana syariat Islam belum berani berubah haluan menuju partai politik.
Berbagai cara dan taktik untuk lolos dan memperoleh status badan hukum kepada pemerintah penjajah,kolonial Belanda selalu gagal terlebih hal ini dilakukan pada tanggal 11 Maret 1913 melalui Gubernur Jendral Idenburg dengan menolak pendaftaran mereka dengan suatu alasan yang beranggapan bahwa Indische Partij dapat membangkitkan kobaran semangat nasionalisme rakyat dan merangkul kesatuan masyarakat multicultural Indonesia dalam melawan penjajah.
Demi mendirikan Perguruan Nasional, Ki Hadjar Dewantara meninggalkan Andi Karmo dan mendapat bantuan dari tokoh – tokoh nasional seperti Alm. Sutatmo Surosumo dan Alm. Suryoputro dan lain – lain ikut menentang kolonel Belanda. Masalah perpajakan menjadikan adanya pelelangan bangku dan barang namun musuh mulai garuk – garuk kepala karena Tamansiswa masih berjalan.
Karena sebuah penolakan dari pemerintah penjajah, maka terbentuklah Komite Bumipoetra pada bulan November 1913 sekaligus sebagai rival komite dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra dengan sigap langsung melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya dalam dana pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) berisi hinaan terhadap Belanda berpesta pora menyambut kemerdekaannya di negara Indonesia karena dianggap tidak beretika. Selain itu, ada tulisan berjudul Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun"
Akibat polesan pena dari kedua jari tangannya, ia pun dibuang ke Pulau Bangka dalam istilah hukuman Belanda dinamakan hukuman internering (hukum buang), sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jendral Idenburg tanpa proses pengadilan.
Ketidakadilan yang dialami oleh Ki Hadjar Dewantara membuat rekan seperjuangannya, Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo berani menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi yang dianggap pihak Belanda sebagai hasutan untuk melawan pemerintah Belanda. Akhirnya mereka kena getah atas tindakannya sendiri sehingga dijatuhkan hukuman internering yang mana Douwes Dekker dibuang di Kupang sedangkan Cipto Mangoenkoesoemo di pulau Banda.
Dengan intelektual dan kecerdikan Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo, mereka dibuang ke Negeri Belanda sejak bulan Agustus 1913sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman sekaligus mempelajari banyak hal dari pada didaerah terpencil.
Pada tahun 1918, Ki Hadjar Dewantara ke tanah air dan berfokus pada dunia pendidikan sebagai alat juang meraih kemerdekaan. Sebelumnya, dia pernah mendalami masalah pendidikan dan pengajaran dan berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Tidak lama kemudian, Ki Hadjar Dewantara bersama dua rekannya mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922 yang sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan (nasionalisme) kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Berbagai rintangan demi rintangan telah mereka lalui demi Taman Siswa ibarat semakin tinggi pohonnya anginpun semakin kencang untuk merobohkannya. Maka, dikeluarkannya Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932 sebagai bentuk ketidaksetujuan pemerintah kolonial. Akan tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, ordonansi itu dicabut.
Ki Hadjar Dewantara tetap memainkan pena di atas kertas polos nan suci ditengah dunia pendidikan di Tamansiswa yang bertemakan nuansa pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan bukan politik. Melalui beratusan tulisannya itulah dia berhasil meletakkan pondasi pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, Ki Hadjar Dewantara membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) sekaligus sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur dalam tahun 1943.
Bukan Ki Hadjar Dewantara namanya jika tidak berjuang demi bangsa. Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara pernah mendapat jabatan dalam pemerintahan Indonesia sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama, anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan anggota Parlemen.
Nama Ki Hadjar Dewantara diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) dengan tanggal 2 Mei sebagai hari Pendidikan Nasional, serta sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 18 November 1959. Bentuk apresiasi masyarakat Indonesia dengan adanya pemberian penghargaan lain berupa gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada kepada Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 18 Desember 1956.
Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta. Pada saat itu, ribuan telegram belasungkawa dari segala golongan dan lapisan masyarakat membanjir, membuktikan keagungan dan kebaikannya didalam hati rakyat. Maka dari itu, didirikannya Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat banyak benda atau karya Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa ada perbedaan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai Pancasila.
Hari lahir Ki Hadjar Dewantara diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ada sebuah ajaran Ki Hadjar Dewantara yang terkenal ialah Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan memberi teladan dan contoh yang baik), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah menciptakan peluang, prakarsa, dan ide), Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan dan arahan). Ajaran ini juga dijadikan sebagai lambang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebagai bentuk penghormatan kepada Ki Hadjar Dewantara yang dikenal dengan Tut Wuri Handayani.
Dalam kajian historis, Ki Hajar Dewantara, pendiri Nationaal Onderwijs Institut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) yang sangat menekankan rasa kebangsaan (nasionalisme) kepada anak didik agar mencintai bangsa dan tanah air untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Lika-liku perjalanan hidup dengan berbagai badai ujian demi kemerdekaan bangsa tidak melunturkan semangat juang Ki Hadjar Dewantara bersama rekan-rekannya dalam memajukan pendidikan di Indonesia sebagai senjata melawan kaum penjajah dan memperbaiki harkat dan martabat bangsa dan menghilangkan kebodohan, kekerdilan dan feodalisme sebagai akibat dari penjajahan. Berawal dari adanya Kongres Pemuda, pembentukan TIGA SERANGKAI, pendirian Indische Partij, Perguruan Nasional dan sebagainya sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Sebelum terjun ke dunia pendidikan, Ki Hadjar adalah seorang yang aktif di dunia poltik dan partai pertama yang dibentuk bersama sahabatnya adalah Indische Partij yang terdiri dari tokoh 3 serangkai yaitu Dr. Cipto Mangunkusumo, Doewes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat. Partai ini adalah yang pertama menentang aksi kolonialisme belanda dan menginginkan kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, adanya momentum nasional pemberian penghargaan berupa gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada kepada Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 18 Desember 1956 hingga didirikannya Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta.
Dalam kajian sosiologis, pada masa Ki Hadjar Dewantara masih berlakunya strata sosial dalam masyarakat Indonesia antara kaum ningrat dan kaum biasa. Selain itu, adanya diskriminasi dalam dunia pendidikan yang mana hanya orang yang dari kaum ningrat yang boleh mengenyam pendidikan terutama kaum lelaki. Oleh karena itu, demi kemerdekaan bangsa, Ki Hadjar Dewantara beserta rekan-rekannya mulai beraksi memberantas pikiran jahiliyah yang bersemayam di pikiran rakyat Indonesia agar mengenyam pendidikan menjadi bangsa yang berintelektual tidak bisa dibodohkan oleh kaum penjajah.
Dalam kajian antropologis, masih ditanamkan budaya unggah-ungguh bahasa Jawa dan etika sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat dilihat ketika seorang siswa bertemu dengan guru dan berbicara dengan orang yang lebih tua dan sebagainya. Terlihat adanya rasa nasionalisme saat momen pengibaran Sang Merah Putih dengan menunjukkan rasa hormat bergaya militer dengan mengangkat tangan kanan sebatas kepala dan sikap berdiri sempurna. Dalam film ini terlihat Ki Hadjar dan Nyi Hadjar yang sedang berpakaian adat jawa. Sikap Ki Hadjar yang sangat terlihat santun dan bersahaja. Kompleks pendopo Taman Siswa sering digunakan sebagai pertemuan dan rapat penting. Pendopo ini menjadi cagar budaya yang dilestarikan pemerintah setempat.
Ki Hadjar Dewantara telah mewariskan sebuah pola pendidikan yang menitik beratkan pada kearifan lokal yang terlihat pada permainan tradisional yaitu permainan kancil mencuri timun dan Djoko Tingkir dalam bahasa Jawa. Selain itu, adanya kegiatan seni seperti memahat, melukis, menganyam, dan melatih diri yang kemudian akan di pamerkan dalam sebuah acara. Ki Hadjar Dewantara pun menerapkan sistem belajar di alam terbuka sehingga suasana belajar tidak monoton yang membuat siswa bosan untuk belajar di sekolah.
Hakikat pendidikan dalam sudut pandang Ki Hajar Dewantara adalah memasukan nilai kebudayaan ke dalam diri anak dan memasukan anak ke dalam kebudayaan supaya menjadi makhluk yang insani dan berbudaya. Sehingga, inti dari pendidikan adalah memanusiakan manusia itu sendiri dan kearifan lokal atau kebudayaan memiliki peran penting dalam proses memanusiakan manusia.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan memberikan harapan baru untuk kemajuan bangsa Indonesia, bukan hanya pada masa awal kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa pasca kemerdekaan; tetapi juga ketika bangsa ini mengalami carut-marut pendidikan pada masa reformasi dan globalisasi.
Ki Hadjar Dewantara juga memandang penting pendidikan budi pekerti. Warisan nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dihidupi dan dijadikan pedoman hidup keluarga-keluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai luhur tersebut memperlihatkan kearifan budi pekerti yang memperlihatkan harkat dan martabat bangsa. Sehingga, adanya pendidikan karakter di dunia pendidikan Indonesia menjadikan salah satu program untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi milenial Indonesia.
Selain itu, Ki Hajar mengajarkan pentingnya sistem Tri Pusat Pendidikan yang satu sama lain saling berkaitan yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam mendidik anak diberi tuntunan dan dorongan agar dapat tumbuh dan berkembang dengan metode ing Ngarsa Sung Tuladha ( bila berkata berada di depan harus bisa menjadi contoh), Ing madya Mangun Karsa( bila berada di tengah-tengah diharapkan mampu menuangkan gagasan atau ide-ide baru yang mendorong kemajuan) dan Tut Wuri Handayani ( bila berada di belakang diharapkan ikut memberi dukungan). Jadi, siswa diberi kebebasan untuk bertindak, tetapi apabila kebebasan itu disalahgunakan, maka pamong wajib memberikan peringatan atau hukuman.
Ajarannya yakni Tut Wuri Handayani akan selalu menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Untuk mengenang jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara pihak penerus perguruan Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Ki Hadjar Dewantara memiliki pemikiran yang sangat visioner pada jamannya. Beliau tahu bahwa pendidikan yang baik bukan hanya beorientasi pada intelektual tapi juga pada pendidikan moral. Ajarannya mengenai Tut Wuri Handayani menjadi landasan pendidikan yang perlu di pahami dalam mendidik seorang murid agar menjadi pribadi yang baik secara moral dan intelektual. Pengajar yang kurang bisa memberi dorongan dan mengarahkan potensi-potensi anak didiknya, perlu disampaikan kembali pemahaman tentang Tut Wuri Handayani dan penerapannya di lapangan agar pengajar dan anak didik mencapai hubungan yang baik dan saling memberi dorongan terutama anak didik
Film dokumenter juga menjadi salah satu solusi dalam menyampaikan kembali makna dan ajaran pendidikan Ki Hadjar Dewantara sehingga dapat memberi informasi lebih baik tentang makna Tut Wuri Handayani dan penerapannya di lapangan.
Silakan klik link ini https://youtu.be/86p7VwB8B-4 jika kamu ingin menonton film dokumenter Ki Hajar Dewantara.
Tidak ada komentar: